Analisa

Riset Opini Publik dalam Legislasi RUU Cipta Kerja

Ferdian Andi
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/
Dosen HTN FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Pembahasan RUU Cipta Kerja saat ini tengah memasuki pembahasan tingkat pertama. Polemik yang menyertai munculnya RUU ini masih terus mengemuka di publik. Sejumlah kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) menolak keberadaan rancangan belied ini untuk disahkan oleh DPR dan pemerintah. Sejumlah substansi dalam materi ini mendapat catatan kritis dari publik.

Riset Opini Publik
Namun, di sisi yang lain, belakangan muncul sejumlah riset opini publik yang mengungkapkan sebaliknya, mayoritas stakeholder menyetujui rancangan undang-undangan ini untuk segera disahkan. Sejumlah riset opini publik itu muncul sejak Maret dan Juli ini, sedikitnya terdapat 4 (empat) lembaga survei yang secara khusus menyigi respons publik tentang RUU Cipta Kerja.

Seperti riset yang dihasilkan dilakukan oleh Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor dan Cyrus Network yang menggelar survei pada 2-7 Maret 2020 lalu mengungkapkan sebanyak 86% responden yang berasal pekerja dan calon pekerja berkeyakinan bila RUU Cipta Kerja ini mampu menciptakan lapangan kerja.

Hasil riset SMRC pimpinan Siaful Mujani juga mengungkapkan hal yang sama. Sebanyak 53% responden yang berasal dari kelompok pengangguran dan pencari kerja mendukung disahkannya RUU Cipta Kerja. Riset ini dilakukan pada 8-11 Juli 2020 lalu.

Riset Charta Politika juga mengungkapkan mayoritas responden yang mengetahui RUU Cipta Kerja ini sebanyak 55,5% mendukung agar RUU Cipta Kerja ini disahkan. Charta Politika menggelar risetnya pada 6-12 Juli 2020.

Temuan riset terbaru dari Cyrus Network mengungkapkan sebanyak 69% responden setuju atas keberadaan RUU Cipta Kerja. Sebanyak 72% responden menilai RUU Cipta Kerja Pro Investasi, 67% responden menilai RUU Cipta Kerja Pro UMKM dan sebanyak 64% responden menilai RUU ini pro pekerja. Riset ini dilakukan pada 16-20 Juli 2020 lalu.

Munculnya riset opini publik khusus menanggapi sebuah rancangan undang-undang, bukan kali ini saja terjadi. Saat DPR dan pemerintah membahas perubahan UU KPK pada tahun 2019 lalu, mayoritas temuan riset mengungkapkan responden menolak perubahan UU KPK. Responden juga meyakini, perubahan UU KPK dianggap sebagai bagian pelemahan terhadap KPK.

Partisipasi dan Opini Publik
Keberadaan partisipasi publik dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan menempati posisi yang penting. Karenanya, seluruh tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan, partisipasi publik mutlak ada. Mulai dari perencanaan dan penyiapan, pembahasan, termasuk pelaksanaan sebuah peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 96 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah menjadi UU No 15 Tahun 2019 disebutkan masyarakat berhak menyampaikan masukan baik lisan maupun tulisan dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan.

Dalam belied itu juga disebutkan mekanisme penyampaian partisipasi masyarakat seperti rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, seminar dan sejenisnya.

Di poin ini pula, menjadi salah satu unsur penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik. Jika penyusunan peraturan perundang-undangan (UU) menyimpang dari prosedur ini, taruhannya bisa diujiformilkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Begitulah posisi partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ada keterlibatan dan aspirasi dalam partisipasi publik.

Berbeda dengan partisipasi publik, opini publik yang dihasilkan melalui riset opini publik sejatinya juga memiliki korelasi dengan isu hukum. Hanya saja, perlu dibedakan opini publik yang diukur melalui pendapat publik dengan opini publik yang membentuk hukum sebagai kekuatan sosial.

Lawrence M Freidman (1975) secara tegas menyebutkan hukum tidak dihasilkan melalui opini mayoritas seperti halnya seorang presiden yang dihasilkan dukungan oleh mayoritas pemilih. Secara lugas, Freidman menyebutkan opini publik yang diukur jajak pendapat seperti Gallup tidak musti menggambarkan pengaruh kekuatan sosial yang sebenarnya terhadap hukum.

Dia berargumen, opini publik yang tidak menggambarkan pengaruh kekuatan sosial terhadap hukum disebabkan mengabaikan unsur ketidaksteraan dan intensitas responden. Jajak pendapat menghilangkan segala intensitas. Selain itu, jajak pendapat juga mengabaikan persoalan struktur yang mengabaikan persoalan institusional.

Freidman menegaskan opini publik yang memengaruhi hukum relasi opini publik dan hukum tak ubahnya hubungan antara ekonomi dan pasar. Ada kalanya sebagian orang memiliki kepentingan akan komoditas tertentu sehingga komoditas tersebut menjadi penting. Ada kalanya pula, sebagian orang memiliki lebih banyak kemampuan dan kekayaan daripada lainnya. Hal itu pula yang terjadi dalam relasi opini publik dan hukum.

Di sisi lain, sejak berlimpahnya akses internet dan penggunaan media sosial di Indoneia partisipasi masyarakat melalui pemanfaatan media sosial juga melahirkan opini publik. Meski, di poin ini keterlibatan aktif publik dalam menyuarakan substansi obyek yang dibahas jauh lebih artikulatif dibanding jajak pendapat yang dalam istilah Freidman sebagai “opini mati”. Meski demikian, sedikitnya, terdapat dua kelemahan di model partisipasi masyarakat melalui kanal media sosial.

Pertama, pembahasan sebuah RUU di ruang digital tidak dibahas secara detail layaknya pembahasan sebuah RUU di ruang diskusi, seminar, serta rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR. Pola yang muncul yakni menangkap (capturing) pada obyek tertentu serta hanya fokus pada norma yang dianggap bermasalah dijadikan landasan untuk pengambilan sikap yang biasanya melahirkan opsi hitam dan putih; menolak atau mendukung. Akibatnya, proses dialektika dan udar gagasan tidak terjadi di pola ini. Karena sifatnya satu arah.

Kedua, pengambilan sikap dalam bentuk penilaian terhadap obyek RUU dilakukan dengan membangun opini (opinion building) melalui data kuantitatif yang diwujudkan melalui topik yang paling banyak dibicarakan (trending topic) termasuk pengumpulan petisi sebanyak-banyaknya melalui fasilitas dalam jaringan (daring). Banyaknya perbincangan terhadap topik yang dimaksud serta banyaknya peneken melalui petisi daring dianggap sebagai representasi suara mayoritas.

Deliberatif
Opini publik yang dibangun melalui mekanisme jajak pendapat melahirkan “opini mati” maupun pemanfaatan media sosial yang hanya menawarkan pilihan hitam dan putih pada akhirnya juga menutup proses dialektika di ruang publik.

Padahal esensi partisipasi publik dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan tak lain memastikan dengan cara manakah opini mayoritas terbentuk sehingga seluruh warganegara dapat mematuhi opini itu. Karena opini mayoritas tidaklah identik dengan opini yang benar. Keputusan politis harus diuji secara publik agar dapat diterima oleh publik. (F Budi Hardiman, 2009).

Oleh karenanya, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan oleh perumus undang-undang (law maker), pelibatan partisipasi publik melalui konsultasi publik mutlak dilakukan. Konsultasi publik yang memiliki dimensi uji publik ini meniscayakan adanya proses diskursif antara warganegara dengan negara melalui ruang publik melalui mekanisme hukum seperti dibukanya ruang partisipasi yang seluas-luasnya.

Keberadaan opini publik melalui mekanisme jajak pendapat yang belakangan muncul dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentu bukan bagian dari konsultasi publik. Kondisi tersebut, dalam pandangan Thomas McCharty (1989), opini publik dicerabut dari bentuk diskusi publik yang tak berkekang. Karakter dan fungsinya lebih ditandai dengan riset opini publik, publisitas dan kerja humas.

*artikel ini tayang di KOMPAS.COM pada Senin, 3 Agustus 2020

Click to comment

Most Popular

To Top