Analisa

Bertata Negara Disruptif di Pandemi Covid-19

Oleh: Ferdian Andi (Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)

KAMPANYE revolusi industri 4.0 cukup getol disuarakan pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder) dalam kurun lima tahun terakhir ini. Tema-tema diskusi dan konferensi ilmiah tak luput dari sentuhan isu digital. Kampanye dan perbincangan ini dilatari oleh masifnya perkembangan digital. Di Indonesia, menurut We Are Social, pada Januari awal tahun ini, pengguna internet telah mencapai 175,4 juta orang.

Kendati masif dan kuatnya kampanye mengenai revolusi industri 4.0, namun implementasi di lapangan tak linier dengan pembahasan dan perbincangannya. Isu digital hanya menyentuh pada sejumlah sektor yang memang cukup adaptif dengan digital seperti sektor ekonomi dan industri kreatif. Sektor lainnya, khususnya yang terkait dengan negara (state) belum sepenuhnya beradaptasi dengan perkembangan digital.

Namun, situasi berubah total sejak satu bulan terakhir ini seiring mewabahnya Coronavirus Disease 19 (Covid-19) di Indonesia yang mengakibatkan kebijakan sesuai standard badan kesehatan dunia (WHO) seperti social distancing dan physical distancing. Di Indonesia, melalui PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diwujudkan dengan sejumlah kebijakan seperti belajar di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah.

Konsekwensi dari pembatasan sosial dan menjaga jarak ini, sejumlah agenda kenegaraan yang dilakukan oleh lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif melakukan sejumlah penyesuaian. Hal yang bisa jadi sebelumnya tak pernah terpikirkan, apalagi menjadi salah satu bagian inovasi imbas perkembangan digital ini.

Metamorfosa Trias Politica
Saat ini, publik akrab menyaksikan rapat di eksekutif dengan memanfaatkan jejaring digital melalui fasilitas aplikasi yang menyediakan layanan pertemuan virtual. Rapat kabinet yang digelar Presiden bersama para menteri sejak wabah Covid-19 ini selalu memanfaatkan fasilitas digital. Secara fisik Presiden dan para menterinya berjauhan, namun melalui layanan digital itu rapat mampu menyepakati dan memutuskan kebijakan-kebijakan strategis menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sebut saja Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-2019, PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Begitu pula situasi yang terjadi di DPR. Kendati sempat mengalami perpanjangan masa reses hingga sepekan, DPR pada akhirnya menggelar pembukaan rapat paripurna pada akhir Maret lalu. Agenda tersebut diikuti dengan rapat-rapat oleh alat kelengkapan dewan (AKD) dengan menggabungkan rapat secara fisik dan virtul. Tentunya, syarat kuorum yang dalam situasi normal menjadi syarat mutlak, di situasi seperti saat ini berubah. Agenda rapat yang digelar DPR memegang prinsip protokol kesehatan yakni menjaga jarak.

Sejumlah keputusan penting telah dilahirkan dari mekanisme rapat kombinasi fiisk-virtual ini. Sebut saja keputusan menghapus Ujian Nasional (UN) tahun 2020 ini. Begitu juga kesepakatan bersama DPR, Pemerintah dan KPU untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak pada 23 September 2020 mendatang.

Setali tiga uang, di lingkungan lembaga peradilan juga menerapkan hal yang sama. Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020, mendorong bagi pencari keadilan dalam hal urusan adminitrasi persidangan dengan memanfaatkan aplikasi e-court serta terkait dengan pelaksanaan persidangan menggunakan e-litigation khususnya bagi perkara perdata, agama dan tata usaha negara (TUN).

Covid-19 telah menjadikan cabang-cabang kekuasaan negara bermetamorfosa menjadi adaptif dengan digital. Keadaan ini tanpa sadar atau tidak telah mengubah cara bertatanegara yang berperspektif disruptif. Mengubah pola dan mekanisme yang sebelumnya hanya sekadar di tataran angan semata.

Kondisi ini seolah menemukan katupnya di tengah euforia digitalisasi khususnya di lingkungan cabang-cabang kekuasaan negara. Meski dalam kenyataannya, tidak banyak kebijakan publik yang bercara pandang digital-disruptif.

Perspektif Digital-Disruptif
Hikmah yang dapat dipetik dari metamorfosa cabang-cabang kekuasaan negara imbas Covid-19 ini dapat menjadi pelajaran penting bagi negara untuk melakukan inovasi secara konkret dan nyata yang tidak hanya berdimensi mekanisme bertata negara saja yang lebih menonjolkan sisi aspek teknisnya semata. Namun, dibutuhkan kebijakan yang berperspektif digital-disruptif dalam urusan publik.

Negara semestinya merumuskan kebijakan publik yang berorientasi pada adaptabilitas digital di ruang publik baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk dalam urusan kenegaraan. Ikhtiar ke arah tersebut mulai tampak, namun belum kuat dan tajam. Khusus di bidang kenegaraan, hingga saat ini belum banyak rumusan yang mengaturnya. Efek yang akan diterima yakni akan terjadi gelombang debirokratisasi, transparansi yang sejalan dengan aspek penghematan keuangan negara.

Lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan publik agar memilik perspektif digital yang berorientasi disruptif. Seperti disebut Klaus Scwab (2016), negara akan meraup keuntungan ekonomi dan finansial bila mampu merumuskan norma-norma internasional yang adaptif dengan lapangan utama ekonomi digital baru yang di antaranya tentang internet untuk segalanya (Internet of Things).

Di samping aspek tersebut, perspektif digital-disruptif juga harus menyasar dalam pola mekanisme dalam proses pembentukan kebijakan publik. Rumusan ini cukup penting terlebih di situasi Covid-19 ini. ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat perlu diperluas areanya.

Bila selama ini partisipasi masyarakat diejawantahkan dengan kegiatan rapat dengar pendapat umum (RDPU), seminar dan sejenisnya, ruang-ruang virtual semestinya dapat menjadi kanal baru bagi publik untuk menyampaikan aspirasnya.

Andrzej Kaczmarczky (2010) berpandangan keberadaan digital/internet hakikatnya akan memberi ruang lebih besar bagi publik dalam keterlibatan perumusan kebijakan-kebijakan yang berorientasi publik. Digital juga dapat menjadi medium tranformasi politik yang otentik untuk menghindari bias media (baik media sosial maupun media konvensional).

Dalam konteks tersebut, tanpa disadari, Indonesia telah menerapkan model pemanfaatan digital sebagai medium penyampai aspirasi publik. Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang menyita perhatian publik urung disahkan karena protes keras yang bermaura dari digital (media sosial). Seperti RUU Permusikan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP. Sejumlah RUU tersebut urung dibahas atau disahkan karena mendapat penolakan keras dari publik.

Kondisi tersebut, penulis sebut sebagai praktik disrupsi legislasi. Dimana proses legislasi oleh lembaga negara perumus undang-undang (law maker) terdisrupsi dengan keberadaan digital sebagai medium penyampaian aspirasi publik. Partisipasi masyarakat tidak hanya diwujdukan dengan praktik rapat dengar pendapat umum (RDPU) di gedung parlemen, namun beralih di genganggaman telepon pintar warga negara.

Dalam konteks ini, negara sepatutnya dapat merumuskan aturan yang adaptif dengan keberadaan digital sebagai instrumen penyampai aspirasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik. Secara formil dan materiil dapat menjamin hak-hak warga negara di satu sisi, serta memastikan praktik tersebut tetap dalam koridor hukum, di sisi yang lain.

Di atas semua itu, transformasi bertata negara dari model konvensional ke model yang berbasiskan digital pada akhirnya telah terjadi sejak satu bulan terakhir ini. Lembaga-lembaga negara dipaksa bermetamorfosa agar tetap berada dalam situasi“negara dalam keadaan bergerak” yang artinya negara tetap menjalankan fungsi konstitusonalnya dalam memberikan aspek perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara di tengah situasi darurat ini.

(Artikel ini tayang di www.kompas.com dengan judul “Tantangan Bertata Negara di Tengah Disrupsi Sekaligus Era Pandemi Covid-19”, Kamis 23 April 2020)

Click to comment

Most Popular

To Top