Analisa

Great Reset Hukum di Masa Pandemi

Oleh: FERDIAN ANDI
(Direktur Eksekutif PUSKAPKUM/Pengajar HTN di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)

KETUA Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) Profesor Klaus Schwab menyerukan, di tengah situasi pandemi Covid-19 ini hakikatnya memberikan peluang untuk merefleksikan, menata kembali dan menata ulang dunia kita.

Pandemi Covid-19 pada akhirnya mendorong lahirnya gagasan “Great Reset” sebagai refleksi untuk membangun sistem ekonomi dan sosial yang lebih adil, berkelanjutan dan tangguh.

Great reset membutuhkan instrumen kontrak sosial baru dimana keadilan dan martabat manusia sebagai basisnya. Penjelasan Great Reset itu dapat ditemui melalui laman resmi WEF. Klaus Schwab bersama Thierry Malleret juga menulis buku khusus mengenai ide tersebut dengan judul “Covid-19: The Great Reset”.

Penataan ulang secara besar-besaran (great reset) saat pandemi ini memang memiliki relevansi dan urgensi sebagai bentuk respons atas tatanan sosial yang telah berubah total saat pandemi.

Penataan ulang secara besar-besaran ini, dalam konteks Indonesia, harus dipastikan tetap dalam jalur konstitusi dan demokrasi.

Pandemi Covid-19 telah melahirkan krisis kesehatan yang memberi dampak turunan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti ekonomi, sosial, birokrasi, pendidikan hingga lingkungan.

Krisis kesehatan ini juga menjadikan negara dalam posisi dilema antara memilih menangani Covid-19 secara konsisten atau memilih untuk mengatasi dampak turunannya. Gagasan great reset imbas pandemi ini merupakan pilihan ideal sebagai langkah nyata untuk merespons perubahan yang terjadi imbas pandemi ini.

Penataan ulang ini harus ditujukan untuk mengembalikan tatatanan yang berkeadilan, berkelanjutan, berkeadaban dan berkemanusiaan sebagaimana amanat adilihung yang terkandung di Pancasila dan konstitusi.

Gayung bersambut, Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR pada Jumat (14/8/2020) juga menyebutkan pandemi yang memberi dampak terhadap ekonomi menjadi momentum untuk melakukan re-start, re-booting dan men-setting ulang semua sistem.

Hukum sebagai pendulum

Penataan ulang secara besar-besaran ini sebenarnya sejalan dengan praktik disrupsi yang terjadi secara masif imbas keberadaan digital.

Pandemi dan digital pada akhirnya menjadi dua katup yang memaksa warga dunia untuk melakukan adaptasi. Meski, dua hal tersebut memiliki titik pijak yang berbeda.

Perubahan tatanan masyarakat saat pandemi Covid-19 ini harus dijadikan momentum perubahan tata kelola di berbagai bidang yang dituangkan melalui instrumen hukum.

Penuangan kebijakan melalui instrumen hukum ini penting untuk memastikan penataan ulang secara besar-besaran memiliki daya ikat dan laku, berjangka panjang serta berkesinambungan (suistainable).

Hukum berjalin kelindan dengan perencanaan (planning), penataan ulang (reset), format ulang (reform) hingga peruntuhan (disruption).

Hal ini tidak terlepas dari karakteristik perubahan hukum yang disebut Lawrence M Freidman (1975) memiliki dua pola. Pertama perubahan hukum yang berfungsi meratifikasi terhadap tindakan yang telah diambil dan kedua, langkah perubahan hukum yang belum diambil melahirkan inovasi.

Lebih lanjut Freidman menyebut empat tipologi perubahan hukum yakni perubahan yang berawal dari luar sistem hukum (masyarakat) dan memengaruhi sistem hukun, perubahan dari luar sistem hukum dan melewati sistem hukum hingga sampai pada titik di luar sistem hukum (masyarakat), perubahan dari dalam sistem hukum yang berdampak di dalam sistem hukum serta terakhir perubahan dari dalam sistem hukum dan menembus sistem hukum dan berdampak pada luar sistem hukum (masyarakat).

Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, dalam kenyataanya telah mengubah pola berinteraksi, bersosial bahkan dalam interaksi bertata negara.

Di poin ini, perubahan hukum dipantik oleh sistem dari luar. Kebiasaan-kebiasaan baru di masa pandemi yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Ini mendekati tipe kedua perubahan hukum. Perubahan ini hanya sekadar di tataran luaran saja yang sifatnya sekadar meratifikasi tindakan yang telah diambil sebelumnya.

Pola perubahan tersebut tentu tidaklah cukup. Dampak turunan akibat pandemi Covid-19 telah memberi dampak yang cukup serius di berbagai bidang.

Karenanya, dalam menyikapi perubahan tersebut, sebagaimana diutarakan Lawrence M Freidman, tersedia dua pilihan yakni planning (perencanaan) yang berdimensi perubahan yang disengaja dan disruption (peruntuhan) yang berarti perubahan dengan melucuti tatanan hukum yang sudah mapan.

Dalam konteks tersebut, kondisi pandemi Covid-19 dan perkembangan digital yang masif dapat menjadi pemantik untuk melakukan planning dan disruption secara pararel.

Dua cara itu ditempuh untuk memastikan penataan ulang secara besar-besaran namun tetap menjadikan kondisi obyektif sosiologis masyarakat sebagai pijakan dalam pengambilan keputusan.

Secara sistemik dapat diklasifikasikan sebagai berikut; perubahan akibat pandemi Covid-19 harus menjadi pendorong lahirnya perubahan hukum yang dirancang untuk menata ulang tata kelola baru di berbagai bidang dengan basis planning.

Sedangkan perubahan yang dipicu oleh teknologi dan digitalisasi, Klaus Schwab (2016) menyebut telah melahirkan inovasi yang pengembangan dan penyebarannya jauh lebih dari sebelumnya, melalui mekanisme disruption

Moral dan konstitusi
Penataan ulang secara besar-besaran (great reset) melalui mekansime perubahan norma hukum harus memerhatikan moral dan konstitusi sebagai dasar dalam perumusan dan pembahasannya.

Nilai konstitusi seperti kemanusiaan, keadilan, keberadaban harus dijadikan kompas pemandu dalam penataan ulang tersebut.

Dimensi lainnya, perumusan hukum dalam rangka penataan ulang ini juga harus memastikan sesuai dengan konstitusi. Sebagaimana Hans Kelsen (1961) menyebut konsep konstitusi dalam teori hukum berarti konstitusi dalam pengertian material yang meliputi norma-norma yang mengatur proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Singkatnya penataan ulang secara besar-besaran ini harus mendasari pada konstitusi yang berdimensi materiil maupun formil.

Penegasan ini penting untuk memastikan great reset harus melahirkan perubahan ke arah yang positif bagi publik.

Penataan ulang di berbagai sektor melalui perubahan hukum ini harus didasari spirit keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan.

Implementasi great reset ini juga harus menjadikan ruang publik sebagai wahana artikulasi bagi warga negara dalam menyampaikan aspirasinya.

Great reset harus tetap memastikan kompatibel dengan dialektika yang berdimensi dua arah antara negara dan warga negara.

Paradoks

Namun, jika melihat dinamika dalam penyusunan peraturan perundang-undangan selama masa pandemi ini justru menampilkan wajah yang paradoksal.

Selain produk legislasi yang dihasilkan keluar dari konteks penataan ulang besar-besaran sebagai respons atas pandemi Covid-19, juga potensial menyimpang dari prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.

Bila pun terdapat produk legislasi yang ditujukan sebagaui respons terhadap pandemi Covid-19, misalnya Perppu No 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi UU No 2 Tahun 2020 justru melahirkan kontroversi di publik.

Seperti norma yang diduga kuat mereduksi kedudukan lembaga legislatif seperti yang tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) Perppu No 1 Tahun 2020 yang menyebutkan perubahan postur APBN dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Kondisi tersebut, selaras dengan temuan Lord Simon, sebagaimana dikutip Peter De Cruz (1999) yang menggambarkan terdapat tren meluasnya kekuasaan eksekutif yang mengorbankan hak-hak parlemen dan individual.

Parlemen dan Presiden semestinya merencanakan produk legislasi yang memiliki dimensi penataan ulang secara besar-besaran yang berorientasi terhadap perbaikan.
Karena di saat yang bersamaan, hingga saat ini alih-alih pandemi mereda, justru di awal Agustus lalu, penderita positif Covid-19 di Indonesia telah menembus angka di atas 100 ribu orang.

Dengan kata lain, dampak konkret dari pandemi ini sedang dan akan terjadi di waktu-waktu mendatang. Tak ada pilihan lain selain melakukan penataan ulang secara besar-besaran melalui instrumen hukum dengan senantiasa berpijak pada moral dan konstitusi.

*Tulisan ini telah tayang di KOMPAS.COM, pada Jumat (21/8/2020)

Click to comment

Most Popular

To Top