Analisa

Mencegah Penumpang Gelap Mitigasi Pandemi Covid-19

Ferdian Andi
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Pengajar HTN FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan tiga regulasi terkait respons terkini mengenai Virus Corona (Covid-19) yakni Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-2019, PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sejumlah regulasi yang diterbitkan Presiden pada akhir Maret lalu merupakan kebijakan termutakhir dari pemerintah dalam merespons wabah Corona di Indonesia yang sejak awal Maret mencuat ke publik.

Dalam merespons Covid-19 ini setidaknya ada dua klaster kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, klaster yang khusus terkait dengan kebijakan penanganan wabah Covid-19. Masuk dalam klaster ini Peraturan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), termasuk Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 tentang aturan teknis PSBB.

Kedua, klaster yang khusus terkait dengan kebijakan atas dampak yang diakibatkan Covid-19. Di klaster ini dari sisi kuantitas justru cukup banyak dengan sejumlah aspek yang terdampak Covid-19. Seperti aspek ekonomi melalui Perppu No 1 Tahun 2020 yang menghapus sejumlah norma di 12 UU sekaligus. Dalam konteks ini, Perppu ini sejatinya berkarakteristik omnibus law.

Tidak hanya aspek ekonomi, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang erat kaitannya dengan aspek hukum. Seperti Permenkumham No 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilias dan Hak Integrasi serta Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Selain itu, belakangan Menteri Hukum dan HAM juga mengagas perubahan PP No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Meski belakangan pemerintah membantah akan mengubah peraturan tersebut.

Tidak hanya itu, di klaster kedua ini, di tengah situasi wabah Covid-19 ini DPR bakal melanjutkan pembahasan sejumlah RUU ke tingkat II terhadap RUU yang sejak awal mendapat protes keras dari publik seperti RUU Pemasyarakatan termasuk RUU KUHP. DPR juga tampak bersikukuh membahas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sejak awal banyak mendapat catatan kritis dari publik.

Persoalan Klaster Pertama
Kebijakan pemerintah yang masuk kategori klaster pertama atau yang fokus penanganan Covid-19 ini puncaknya melalui terbitnya PP No 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar serta Kepres No 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Keputusan pemerintah untuk memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada akhirnya mengakhiri debat di publik soal apakah memilih karantina wilayah (lockdown) atau tidak. Meski, sebenarnya, bila merujuk UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehataan, terdapat empat pilihan yang tersedia yakni Karantina Rumah Sakit, Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Membaca PP No 21 Tahun 2020 yang diterbitkan pemerintah akhir Maret kemarin memiliki sejumlah catatan kritis. Dari sisi penyusunan peraturan perundang-undangan, PP No 21 Tahun 2020 merupakan peraturan berkarakteristik delegasian dari UU No 6 Tahun 2018. Produk hukum berjenis regeling ini tidak lazim jika dari sisi materi norma yang tertuang menyebut obyek addressat Covid-19.

Semestinya materi PP Pembatasan Sosial Berskala Besar mengatur norma yang umum (in abstraco/general norm) tentang mekanisme pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar, bukan mengatur soal obyek tertentu seperti Covid-19. Karena efeknya jika di waktu mendatang terdapat wabah yang berbeda dari Covid-19, secara praksis pemerintah bakal menerbitkan PP baru atau mengubah PP 21/2020 ini.

Di sisi lain, dari sisi materi, PP ini hanya pengulangan dari norma yang tertuang di Pasal 59 ayat (3) UU No 8 Tahun 2018. Lebih dari itu, PP tak lebih sebagai legalisasi dari praktik yang telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sejak pertengahan Maret kemarin seperti kerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah.

Masalah lainnya yang tak kalah pelik di Perppu No 1 Tahun 2020. Ketentuan di Pasal 27 ayat (2) menjadi masalah serius dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum. Bagaimana mungkin pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat digugat baik perdata maupun pidana.

Begitu juga di Pasal 27 ayat (3) Perppu No 1 Tahun 2020, bagaimana mungkin keputusan atau tindakan pemerintah yang menjadikan Perppu No 1 Tahun 2020 sebagai legal basis dalam perumusan kebijakan tidak dapat digugat di lembaga peradilan administrasi. Norma tersebut memberi perlakuan istimewa kepada penyelenggara administrasi negara. Padahal, prinsip equality before the law atau penyelenggara negara dan warga negara sama di mata hukum merupakan hal yang mutlak dalam praktik negara hukum.

Persoalan Klaster Kedua
Kebijakan pemerintah di klaster kedua ini juga tak kalah serius memicu polemik di tengah wabah Covid-19. Apalagi, dari sisi dampak turunan, sejumlah persoalan tersebut tak memiliki korelasi secara langsung dengan wabah Covid-19 ini.

Sebut saja mengenai wacana yang sempat mencuat mengenai rencana perubahan PP No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Gagasan perubahan ini menyusul terbitnya Permenkumham No 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi. Jika PP No 99 Tahun 2012 diubah dan diperlonggar maka efeknya narapidana kejahatan korupsi, terorisme dan narkoba akan mendapat relaksasi. Meski, belakangan pemerintah memastikan tidak akan mengubah PP tersebut.

Selain masalah tersebut, rencana DPR untuk membahas tingkat kedua terhadap RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP, tidak patut untuk dilakukan di situasi saat ini. Tak terkecuali pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja yang hingga saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah. Apalagi, respons keras publik terhadap tiga RUU tersebut semestinya ditanggapi dengan membuat ruang partisipasi masyarakat secara luas. Situasi saat ini dengan kebijakan pemerintan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui PP No 21 Tahun 2020, semestinya tidak dijadikan kesempatan bagi DPR untuk membahas sejumlah RUU yang dari awal memancing reaksi negatif dari publik. Bila pun bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU, DPR dapat membuat terobosan dengan memanfaatkan saluran digital sebagai ruang aspirasi publik.

Dua klaster respons pemerintah terhadap Covid-19 berupa sejumlah kebijakan publik harus tetap diletakkan dalam bingkai negara demokrasi konstitusional. Setiap tindakan pemerintah harus dipastikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan mencerminkan aspirasi dari publik.

Melawan Covid-19 harus dengan instrumen hukum yang benar. Keadaan kedaruratan bukan berarti menabrak prinsip negara hukum dan demokrasi. Mari kita fokus dengan mengerahkan berbagai sumber daya dalam penanganan Covid-19 sembari senantiasa mencegah penumpang gelap dalam mitigasi Covid-19 ini.

Credit Photo: BBC

Click to comment

Most Popular

To Top