Analisa

Mengatur Kecerdasan Buatan

Oleh: Ferdian Andi (Direktur Eksekutif Puskapkum/Pengajar HTN-HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)

KECERDASAN buatan atau artificial intelligence (AI) yang berbasis komputasi kini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. AI membantu dan memudahkan aktivitas sehari-hari. AI kini makin populer.

Temuan survei Ipsos mengonfirmasi popularitas AI ini. Lembaga riset spesialis opini publik dan pasar global yang bermarkas di Paris itu pada akhir Juli lalu mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi negara tertinggi (84 persen) di dunia yang mengakui keberadaan AI. Indonesia juga didapuk sebagai negara tertinggi di dunia (74 persen) yang mengakui lebih banyak manfaat AI daripada mudaratnya.

Temuan tersebut seturut dengan hasil sigi We Are Social pada awal tahun 2023 ini yang mengungkapkan bahwa di Indonesia tembus 213 juta pengguna internet setara 77 persen dari total populasi di Indonesia. Meski, berita tidak baiknya, terdapat 63 juta atau 23 persen penduduk Indonesia yang belum terhubung dengan internet (unconnected population).

Kendati demikian, bukan tanpa soal keberadaan AI ini. Stuart Russel & Peter Norvig (2021) mencatat sejumlah risiko yang muncul dari keberadaan AI, di antaranya perlindungan data pribadi. AI dapat melakukan pengawasan dan persuasi secara massal kepada individu dan aktivitas yang diinginkan melalui saluran telepon, kamera video, e-mail, dan saluran pesan lainnya. AI juga memicu pengambilan keputusan yang bias akibat penyalahgunaan algoritma mesin yang ceroboh. Persoalan lainnya, di sektor ketenagakerjaan, AI menggantikan sejumlah pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan manusia

Stephen Hawking, Stuart Russel, Max Tegmark, dan Frank Wilczek (2014) dalam artikel yang ditulis di Independent mengingatkan, dalam merespons dampak jangka pendek atas keberadaan AI, tergantung siapa yang mengendalikannya. Namun, untuk dampak jangka panjang, tergantung apakah AI dapat dikendalikan atau tidak. Peringatan itu menjadi bahan reflektif bagi pemangku kepentingan tentang pentingnya pengaturan keberadaan AI.

Kebutuhan Regulasi

Pengaturan tentang AI menjadi isu mayor di pelbagai negara dunia. Merujuk laporan Reuters pada 13 September 2023 lalu, saat ini terdapat sepuluh negara yang sedang menyiapkan regulasi dan ada pula yang menerapkan aturan transisi. Selain itu, dua lembaga dunia, yakni G7 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), juga tengah menyiapkan perangkat aturan mengenai AI.

Sejumlah isu yang menjadi perhatian pelbagai dunia terkait pengaturan AI ini seperti pencegahan penyebaran pelecehan seksual terhadap anak (Australia), persaingan usaha (Inggris), keamanan bagi negara dengan kewajiban AI mendapat izin dari negara (Tiongkok), penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak privasi (Prancis, Italia, Jepang, Spanyol, dan Polandia), pemanfaatan AI bagi kepentingan militer dan nonmiliter untuk perdamaian dan keamanan global (PBB), serta soal tidak diakuinya karya seni yang dihasilkan oleh AI (Amerika Serikat).

Indonesia bukan tak ada upaya untuk mengelola keberadaan AI. Sebagaimana tertuang dalam Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial 2020–2045 yang dirilis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2020, juga memberi perhatian soal pentingnya pengaturan yang memuat tentang etika dan tata kelola kecerdasan buatan dalam penerapan teknologi kecerdasan buatan.

Sebenarnya terdapat ruang yang dapat ditempuh oleh DPR dan presiden yang saat ini sedang pembahasan perubahan (legislative review) kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Semestinya DPR dan presiden mempertegas norma ”agen elektronik” sebagai AI sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (8) UU Nomor 11 Tahun 2008 dan Pasal 1 ayat (3) PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Penegasan nomenklatur tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan aturan turunan yang spesifik mengatur tentang AI.

Istilah ”agen elektronik” dalam ketentuan tersebut dimaknai sebagai nama lain dari artificial intelligence (AI) (Ilhami Ginang Pratidina, 2017). Konsekuensi atas pemaknaan itu, agen elektronik yang merupakan penyedia perangkat AI memiliki kewajiban dan pertanggungjawaban hukum yang melekat (Zahrashafa PM & Angga Priancha, 2023).

Norma lain yang relatif tegas menyebut nomenklatur AI dapat dijumpai dalam Permenkominfo 3/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Sistem dan Transaksi Elektronik. Hanya, ketentuan dalam permenkominfo itu lebih fokus pada teknis pemrograman AI.

Opsi lainnya dalam pengaturan AI dapat melalui pengaturan hukum yang mandiri, yakni memuat aturan khusus tentang AI. Meski, tantangannya, aturan tersebut harus bisa menjangkau perkembangan kecepatan teknologi, seperti dalam konteks AI munculnya artificial super intelligence (ASI). Jika opsi ini ditempuh, dari sisi prosedur membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apalagi, masa jabatan DPR periode 2019–2024 setahun lagi akan berakhir. Tetapi, apa pun pilihan model pengaturan yang ditempuh negara, pengaturan AI semestinya mendesak segera dilakukan.

Menjaga Peradaban

Tantangan di depan mata dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Titik kerawanan pemilu bisa saja dipicu oleh konten yang dihasilkan AI. Seperti konten berupa audio atau video yang seolah menyerupai orang atau figur publik tertentu yang menarasikan suatu hal yang memicu polemik. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu semestinya dapat menangkap potensi kerawanan pemilu yang dipantik AI ini.

Pengaturan AI ini dimaksudkan untuk merawat peradaban kemanusiaan dalam rangka supremasi hak-hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai kemanusiaan. Penggunaan AI yang bertanggung jawab, menurut Cary Coglianese (2021), justru akan mengukuhkan prinsip demokrasi dan nilai tata pemerintahan yang baik, khususnya dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. (*)

Artikel ini tayang di Koran Jawa Pos, 3 Oktober 2023

Click to comment

Most Popular

To Top