Oleh: R Ferdian Andi R (Direktur Eksekutif Puskapkum)
Belakangan ini publik di Indonesia menyaksikan benturan, khususnya di sektor ekonomi antara pemain lama (incumbent) dengan pemain baru. Persoalan pengaturan moda transportasi berbasis dalam jaringan (daring) dengan transportasi di luar jaringan (luring) atau dikenal transportasi konvensional, menjadi contoh yang baik adanya gesekan antara pemain lama dan pemain baru di sektor transprotasi.
Kondisi ini menghadirkan, sebagaimana disebut Clayton Christensen, sebagai gelombang disruption yakni gelombang inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan sistem baru. Implikasinya, gelombang ini menggantikan pemain lama dengan pemain baru (Rhenald Kasali, 2017).
Inovasi tersebut memiliki dampak signifikan, di antaranya memangkas biaya dan alur birokrasi (debirokratisasi) yang ujungnya pada efisiensi, baik dari sisi biaya maupun operasional kerja. Fenomena transprotasi berbasis daring merupakan contoh yang dirasakan banyak orang, betapa praktisnya menggunakan jasa layanan transportasi dengan tarif yang cukup kompetitif.
Fenomena pertumbuhan e-commerce yang menjadi cara baru masyarakat berbelanja juga menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Hal serupa terjadi di marketplace yang mengalami peningkatan dalam satu dekade terakhir ini. Di bidang lainnya juga tak luput dari fenomena disruptif ini.
Pemerintah sendiri pada pertengahan tahun lalu telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (e-commerce) atau SPNBE. Regulasi ini merupakan respons atas pertumbuhan jual beli berbasiskan teknologi informasi yang signifikan.
Tidak hanya di urusan jual beli berbasiskan daring, layanan keuangan pun tak luput dari inovasi yang berbasiskan digital ini. Fenomena financial technology (fintech) yang melayani pembayaran, pinjaman, perencanaan keuangan, pembiayaan dan lain-lain merupakan contoh inovasi di bidang keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun merespons fenomena ini dengan menerbitkan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Belakangan muncul model keuangan baru melalui perangkat lunak yakni Bitcoin yang digagas Satoshi Nakamoto 10 tahun lalu. Bank Indonesia telah menegaskan model keuangan bitcoin tidak diakui dalam sistem pembayaran di Tanah Air. Rujukannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan bitcoin tidak masuk dalam kategori mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, gelombang disruptif pada akhirnya mengepung hampir seluruh sendi kehidupan. Persinggungan ini pada akhirnya terkait dengan aturan main yang tersedia. Persoalan yang terjadi di transportasi berbasis daring dan konvensional beberapa waktu lalu menjadi contoh adanya disparitas antara kenyataan di satu sisi dan ketersediaan regulasi di sisi lain. Imbasnya, muncul benturan dua jenis moda transportasi tersebut.
Menghadapi gelombang disruptif di berbagai sektor publik, tampak pembuat regulasi mengalami keterlambatan dalam merespons peristiwa yang begitu cepat imbas berlakunya hukum besi ekonomi supply and demand. Alih-alih merespons dengan membuat aturan yang adaptif, tak jarang regulator justru bersikap defensif.
Berjarak
Dari sini pula lahir keberjarakan antara regulasi dengan praktik yang muncul di masyarakat. Imbasnya, praktik ‘kriminalisasi’ acap muncul dari kegagalan dalam merespons kenyataan yang muncul di masyarakat. Padahal, persoalan tersebut hanya lantaran tidak siapnya regulator dalam mengejar gerak zaman yang begitu dinamis dan cepat.
Padahal secara normatif, peraturan perundangan setidaknya harus mencerminkan tiga landasan dalam menyusunnya, yakni landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ada juga pemikiran lain yang menambahkan dengan dua landasan lagi, yaitu landasan politis dan landasan ekonomis (Solly Lubis, 1989).
Meski harus diakui, tugas tidak ringan diemban oleh pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan yang ramah terhadap digital di satu sisi. Di sisi lain terdapat kenyataan adanya kelompok atau pemain lama yang juga harus dilindungi regulasi.
Karena dalam beberapa kasus, regulasi yang lahir dari ‘rahim digital’ berusaha tampil sebagai aturan dengan wajah yang populis di mata publik (netizen Internet) tapi secara formal mengindahkan prinsip-prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik serta secara materiil menabrak prinsip esensial dalam konteks negara hukum (rechstaat).
Dalam hal ini, regulasi yang berkarakter populis lebih cenderung mempertimbangkan aspek populisme pembuat peraturan perundang-undangan daripada mempertimbangkan hal yang elementer.
Sebut saja Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara umum mengembalikan proses pemilihan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan langsung. Perppu ini dikeluarkan sepekan setelah DPR dan pemerintah menyepakati RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang isinya pemilihan kepala daerah melalui jalur DPRD.
Saat itu, publik memprotes mekanisme pilkada dilakukan di DPRD. Di sejumlah media sosial tanda #ShameOnYouSBY menjadi trending topic sebagai bentuk protes.
Kenyataannya, substansi materi Perppu tersebut dinilai banyak masalah. Akibatnya, setelah pengesahan Perppu Pilkada menjadi UU Pilkada, DPR dan pemerintah sepakat mengubah sejumlah norma di aturan tersebut.
Perppu tersebut menjadi contoh yang baik sebuah output dari opini publik di ranah digital (termasuk di luar digital) yang melatari munculnya peraturan perundang-undangan. Digital dan hukum pada dasarnya merupakan dua entitas yang mulanya tidak pernah terpikirkan bisa beriringan bersama.
Namun dalam kenyataannya kedua entitas itu harus berjalin erat dengan sebutan cyber law (hukum siber). Setidaknya, pertama, terdapat aspek hukum yang muncul dari ranah digital dan kedua, tindakan hukum yang diakomodasi melalui ranah digital. Dua hal tersebut menjadi keniscayaan di tengah berkembangnya digital dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam konteks poin kedua, pembuat peraturan perundang-undangan harus memiliki visi diruptif dalam menyusun setiap norma yang tertuang dalam aturan hukum. Sikap defensif terhadap perkembangan zaman bukanlah cara bijak dalam melindungi masyarakat dari gejala disruptif di berbagai sektor.
Regulator juga harus memiliki spirit perlindungan terhadap masyarakat dalam merespons disruption yang makin menggejala. Pemerintah dalam satu tarikan nafas yang sama juga dapat menambah sumber baru penerimaan negara setidak-tidaknya dari aspek pajak yang timbul dari produk disruptif tersebut.
Fenomena disruption harus disikapi dengan visi disruptif dalam merumuskan norma hukum sebagai wujud pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik. Hukum harus hadir sebagai perangkat yang mampu mengharmonikan antara pemain lama dengan pemain baru sembari mengarahkan pembuatan perangkat yang baru yang lebih bagus.
Dengan cara demikian, hukum hadir sebagai jalan kebaikan, kemanfaatan dan keadilan sebagaimana cita-cita para filosof dalam merumuskan teori hukum. (Tayang di Koran Bisnis Indonesia, Edisi Jumat 2 Februari 2018)