Analisa

Sengkarut Kebijakan PCR

Ferdian Andi (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Pengajar HTN Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

BEBERAPA waktu terakhir ini, publik disuguhkan kebijakan pemerintah tentang kewajiban tes polymerase chain reaction (PCR) dan antigen sebagai syarat perjalanan yang berubah-ubah. Belakangan, aturan tersebut tak lagi diterapkan dan biaya tes PCR diturunkan menjadi Rp 275 ribu yang sebelumnya di kisaran Rp 400 ribu – 500 ribu. Meski, pemerintah tetap membuka opsi untuk kembali menerapkan aturan tersebut.  

Menariknya, kebijakan mengenai syarat perjalanan ini, muncul dari beberapa instansi pemerintahan. Seperti Kementerian Dalam Negeri melalui Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri), Kementerian Perhubungan melalui Surat Edaran (SE) termasuk dari Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 melalui Surat Edaran Kepala Satgas (Kasatgas).  Padahal, jika disimak, norma yang tertuang dalam aturan-aturan tersebut memiliki kesamaan satu dengan lainnya.

Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendgari), sedikitnya telah mengalami empat kali perubahan khusus mengenai aturan syarat perjalanan. Mulai Inmendagri No 53 Tahun 2021 yang diterbitkan pada 18 Oktober 2021, Inmendgari No 55 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Inmendgari No 53 Tahun 2021 terbit pada 27 Oktober 2021.  

Inmendagri No 56 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Inmendagri No 55 Tahun 2021 yang diterbitkan pada 28 Oktober 2021.  Terakhir Inmendagri No 57 Tahun 2021 terbit pada 1 November, di dalamnya juga mengubah sejumlah ketentuan yang tertuang di Inmendgari sebelumnya. Perubahan Inmengdari itu secara pararel diikuti dengan perubahan SE Satgas Penanganan Covid-19 serta SE Kementerian Perhubungan.

Perubahan ketentuan perjalanan di masa pandemi ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana mekanisme perumusan norma yang diterbitkan pemerintah? Termasuk mengenai siapa sebenarnya lembaga pemerintah yang berwenang (legal authority) menerbitkan aturan perjalanan di masa pandemi ini?

Kecermatan

Perubahan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan (beleidsregel) atau policy rule ini sebenarnya hal yang lumrah terjadi, apalagi dalam kasus Covid-19 yang cukup dinamis. Perubahan dilakukan, di antaranya karena tak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat. Persoalannya, aturan diubah dalam waktu singkat dan berulang-ulang.

Padahal, kepastian hukum ini menjadi poin penting dalam asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Dalam konteks ini, Inmendgari, SE Satgas serta SE Kemenhub yang mengikat publik ini harus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

Potensi munculnya ketidakpastian hukum seiring perubahan ketentuan tentang kewajiban mengantongi hasil tes bebas Covid-19 berbasis PCR mulai soal masa berlakunya hasil tes PCR yang semula 2 hari menjadi 3 hari hingga pada akhirnya terbit pengaturan tentang tak lagi diperlukan hasil tes PCR dalam perjalanan udara.

Masalah lainnya yang juga sempat memantik reaksi publik mengenai aturan kewajiban mengantongi hasil negatif tes PCR 3×24 jam atau antigen 1×24 jam bagi pengguna moda transportasi darat motor maupun mobil dengan rentang jarak 250 km atau 4 jam perjalanan.  Pada akhirnya, ketentuan yang tertuang di SE Kemenhub No 90 Tahun 2021 diubah menjadi SE Kemenhub No 94 Tahun 2021.

Kerumitan norma yang tertuang dalam perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) ini baik melalui Inmendagri, SE Satgas serta SE Kemenhub ini mestinya tak perlu terjadi. Kewenangan diskresi yang dimiliki penyelenggara tata usaha negara yang diwujudkan melalui penerbitan peraturan kebijakan ini semestinya merefleksikan asas kewajaran atau kepatutan umum. 

Lebih konkret lagi, keberadaan peraturan kebijakan ini, menurut Indroharto (1992) tidak boleh bertentangan dengan nalar yang sehat dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang di antaranya asas bertindak cermat (principle of carefulness). Dengan kata lain, kendati tidak menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan, Inmendagri, SE Satgas dan SE Kemenhub tidak boleh bertentangan dengan hukum dan etik.

Rendahnya kasus Covid-19 di lapangan yang ditandai dengan menurunnya level PPKM di sejumlah daerah, ketersebaran vaksinasi yang makin masif (data per 9 November sebanyak 126.459.285 orang (dosis ke-1), 80.070.525 orang (dosis ke-2) dan 1.170.175 orang (dosis ke-3) tak memiliki relevansi dengan kebijakan aturan perjalananan yang mewajibkan tes Covid-19 melalui PCR atau antigen yang tertuang melalui Inmendagri, SE Satgas maupun SE Kemenhub.

Kebijakan kewajiban mengantongi syarat bebas covid-19 melalui tes PCR dan antigen untuk syarat perjalanan tampak menabrak logika publik. Spirit pencegahan penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat mestinya tidak menempuh jalan pintas dengan menerapkan kewajiban tes PCR atau antigen yang membutuhkan biaya yang tidak murah itu.

Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang berkesinambungan seperti mengaktivasi kembali sejumlah protokol kesehatan yang belakangan justru tampak mengendur dengan senantiasa melakukan secara konsisten langkah 3 T yakni tracing, testing dan treatment  plus vaksinasi di tengah masyarakat. Upaya sistemik yang berkelanjutan tersebut lebih baik ditempuh daripada membuat kebijakan yang justru menampilkan ketidakcermatan yang dibuktikan dengan perubahan aturan hingga berkali-kali itu.

Otoritas Hukum

Masalah lainnya dari karut marut kebijakan syarat perjalanan ini, tak lain soal banyaknya lembaga yang menerbitkan aturan. Sedikitnya terdapat tiga lembaga sekaligus yang menerbitkan aturan mengenai syarat perjalanan yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perhubungan dan Satgas Covid-19.

Keterlibatan Kementerian Dalam Negeri dalam penanganan Covid-19 ini mulai tampak sejak perubahan kebijakan pemerintah dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bermuara dari permohonan pemerintah daerah (Pemda) ke pemerintah pusat (Kementerian Kesehatan) bergser ke Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dimulai awal tahun 2021 yang sepenuhnya kebijakannya berasal dari Pemerintah Pusat (Kementerian Dalam Negeri).

Keterlibatan Kemendagri dalam konteks pengaturan relasi pusat dan derah, dalam hal ini penyelenggaraan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri sebagaimana tertuang dalam Perpres No 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri, dapat dipahami. Setidaknya, Kemendagri sebagai representasi pemerintah pusat memiliki rentang kendali terhadap pemerintah daerah (Pemda) dalam hal ini terkait dengan kebijakan PPKM di daerah. Karena hakikatnya, Pemda tak lain sebagaiw akil pemeirntah pusat, sebagaimana tertuang dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda.

Hanya saja, pengaturan tentang syarat perjalanan yang juga dibunyikan dalam Inmendagri ini mestinya tak perlu muncul. Karena dari sisi kewenangan, Kementerian Dalam Negeri bukanlah lembaga pemerinah yang memiliki kewenangan di bidang perhubungan.  Perpres No 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan disebutkan tentang tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang transportasi berada di Kementerian Perhubungan.

Persoalan ini penting digarisbawahi, selain secara mendasar terkait legal authority yang menjadi syarat mutlak dalam penerbitan sebuah kebijakan, secara teknis juga menimblkan persoalan. Tidak sedikitnya lembaga pembuat aturan, yang dari sisi materi memiliki kesamaan, justru akan berdampak pada persoalan koordinasi, sosialisasi, efisiensi serta efektivitas pelaksanaan kebijakan di lapangan.

[Artikel ini tayang di Koran Jawa Pos, 11 November 2021/Foto: www.fkui.ac.id]

Click to comment

Most Popular

To Top