Oleh: Ferdian Andi (Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum) dan Pengajar di Fakultas Hukum (FH) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
KASUS korupsi yang menjerat penyelenggara pemerintahan hingga kini tak berkesudahan. Satu kasus terungkap, disusul kasus baru lainnya, begitu seterusnya. Padahal, tak kurang berbagai instrumen hukum tersedia, sayangnya praktik korupsi masih saja terjadi.
Lebih ironi lagi, para pelaku korupsi dari penyelenggara pemerintahan ini termasuk salah satu pihak yang selalu mengampanyekan Pancasila ke publik. Situasi ini jelas memprihatinkan. Pancasila surplus dalam pelafalan dan jargon, namun defisit dalam implementasi.
Terlebih sejak terbit Keputusan Presiden No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 1 Juni ini, kegiatan yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemerintah terkait dengan Pancasila kian masif.
Dalam konsiderannya, penetapan 1 Juni sebagai hari Pancasila dimaksudkan untuk melestarikan dan melanggengkan Pancasila agar diamalkan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal yang sama juga tertuang dalam konsideran pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres No 7 Tahun2018.
Secara kualitatif, keberadaan berbagai instrumen hukum tentang ideologi Pancasila dalam sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara nyatanya tidak berdampak secara konkret dalam menyetop praktik korupsi khususnya di lingkungan penyelenggara pemerintah.
Praktik korupsi telah menjadi beban serius bagi penyelenggaraan pemerintahan. Korupsi secara nyata memberi dampak kerusakan yang sistemik di berbagai bidang. Seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan sektor publik lainnya.
Kabar buruknya, riset Transparancy International (TI) pada tahun 2020 mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (corruption perception index) Indonesia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.
Indonesia yang pada tahun 2019 berada di poin 40 melorot berada di poin 37 pada tahun 2020, dengan skala 1-100. Sedangkan peringkat Indonesia berada di rangking 102 dari total 180 negara yang disurvei.
Rilis riset Global Corruption Barometer pada akhir tahun 2020 lalu mengungkapkan sejumlah lembaga-lembaga negara yang dipersepsikan oleh responden sebagai lembaga terkorup yakni DPR (51%), pemerintah daerah (48%), pejabat pemerintahan (45%), polisi (33%), pebisnis (25%), hakim/pengadilan (23%), presiden/menteri (20%), LSM (19%), TNI (8%) dan pemuka agama (7%).
Dalam konteks ini, Pancasila yang menjadi dasar negara (staatfundamentalnorm) dan cita hukum (rechtidee) bangsa Indonesia, secara operasional tidak dijalankan dengan baik oleh penyelenggara pemerintahan. Semestinya Pancasila menjadi koridor etik bagi penyelenggara pemerintahan untuk tidak melakukan tindakan koruptif.
Operasionalisasi Pancasila
Kedudukan Pancasila hakikatnya menjadi sumber etik bagi penyelenggara pemerintahan dalam mengelola administrasi pemerintahan di berbagai tingkatan. Karena secara faktual Pancasila menjadi cita hukum yang sifatnya konstitutif maupun regulatif. (Hamid S Attamimi, 1991).
Setiap lelaku penyelenggara pemerintahan yang secara formal diwujudkan melalui produk regeling maupun beshcikking baik yang bersifat atribusian maupun delegasian, maupun tindakan pemerintahan baik terikat maupun yang tidak terikat (freies ermessen) harus dalam koridor etik Pancasila.
Sebagai landasan etik dalam pengelolaan pemerintahan, Pancasila secara operasional menjadi koridor dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Lima sila yang tertuang dalam Pancasila menjadi basis nilai yang diwujudkan dalam kebijakan yang berdimensi luas bagi publik.
Lebih dari itu, setiap penyelenggara pemerintahan secara personal semestinya menginternalisasi nilai Pancasila dalam lelaku kehidupan sehari-hari baik dalam ruang privat maupun ruang publik.
Setiap sila yang terdapat dalam Pancasila secara operasional dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Secara sistemik, pikiran dan tindakan penyelenggara pemerintahan tentu harus didasari pada nilai-nilai ketuhanan yang universal.
Jika nilai-nilai ketuhanan menjadi pemandu dalam setiap tindakan penyelenggara pemerintahan, secara determinan tindakan koruptif akan dapat dicegah dan dihindari. Nilai ketuhanan tentu tidak direduksi, disimplifikasi dan dimanipulasi dengan simbolisasi agama semata.
Begitu juga jika penyelenggara pemerintah secara sadar mendalami dan menjalankan nilai dalam sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, semestinya setiap kebijakan yang diterbitkan penyelenggara pemerintahan didasari pada aspek universal yakni nilai keadilan dan keluhuran peradaban kemanusiaan.
Bila setiap tindakan penyelenggara pemerintah didasari pada sila kedua Pancasila, dipastikan kebijakan penyelenggara pemerintah tidak akan merugikan publik atau menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu saja.
Dalam konteks ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi musuh dari Pancasila. Karena KKN secara nyata telah memporak-porandakan nilai kemanusian, keadilan peradaban. Praktik KKN juga memberi dampak ekstrem terhadap bangunan persatuan Indonesia sebagaimana tertuang dalam sila ketiga Pancsaila. KKN jelas mengoyak persatuan Indonesia.
Mekanisme musyawarah mufakat dalam sistem perwakilan sebagaimana tertuang dalam sila keempat semestinya secara konsekuen dapat dioperasionalkan dengan baik. Musyawarah mufakat tidak direduksi dengan kesepakatan kelompok elit pemegang kekuasaan formal semata.
Warga negara sebagai pemilik kedaulatan, hukumnya wajib dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang berdimensi publik. Ruang publik sebagai medium percakapan warga negara dengan negara seharusnya menjadi ruang artikulasi dalam perumusan kebijakan publik.
Bila spirit musyawarah dipedomani oleh penyelenggara pemerintahan, karut marut di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan menyeruak ke publik termasuk polemik UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus law) dipastikan tidak akan muncul. Kenyataannya aspirasi publik diabaikan.
Parlemen sebagai ruang konstitusional bagi percakapan warga negara dengan negara tidak dimaksimalkan dengan baik. Ujungnya, warga negara ditantang duel di ruang mahkamah untuk menggugat produk hukum yang dihasilkan oleh para wakil rakyat bersama presiden yang dipilih melalui pemilu lima tahunan.
Terakhir, sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang menjadi salah satu tujuan bernegara akan menjadi spirit yang luar biasa bagi penyelenggara pemerintahan dalam perumusan setiap produk kebijakan. Dimensi keadilan untuk semua menjadi pagar yang kukuh untuk tidak melakukan tindakan KKN bagi penyelenggara pemerintahan.
Pancasila Bukan Konten
Bila melihat sejumlah data terkini mengenai riset corruption perception index serta sejumlah kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara pemerintahan mulai dari menteri hingga kepala daerah semestinya persoalan korupsi ini menjadi salah satu hal yang menjadi national interest bagi bangsa Indonesia.
Dengan cara pandang demikian, seluruh pemangku kepentingan semestinya memiliki komitmen yang sama dalam pencegahan dan penindakan korupsi khususnya di ruang lembaga publik. Jika konsisten dengan cara pandang tersebut, tentu tidak akan melahirkan polemik di tubuh KPK, tak terkecuali dalam urusan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang belakangan membuat gaduh publik itu.
Dalam konteks ini, Pancasila harus ditempatkan pada porsi yang tepat sebagai perangkat nilai untuk melawan tindakan korupsi baik di internal penyelenggara pemerintahan maupun di eksternal pemerintahan. Pancasila sebagai perangkat nilai yang bersih dan yang membersihkan korupsi.
Pancasila tidak sekadar menjadi jargon para penyelenggara pemerintahan. Apalagi hanya sekadar menjadi konten unggahan di media sosial lembaga-lembaga negara. Semestinya Pancasila telah melampaui hal yang artifisial, jargon dan materi kampanye.
Jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila” yang pernah menjadi materi kampanye para pejabat di negeri ini menjadi tak bermakna. Di saat yang bersamaan masih terjadi praktik korupsi seperti kasus dana bantuan sosial, korupsi kebijakan impor benur, hingga kasus suap jual beli jabatan di lembaga pemerintahan.
Kini dibutuhkan konstekstualisasi nilai Pancasila untuk melawan korupsi khususnya di internal penyelenggara pemerintahan. Pancasila harus naik kelas dari sekadar konten bergeser menjadi perangkat nilai untuk melawan korupsi. Saatnya mengimplementasikan “Saya Pancasila. Saya Antikorupsi!” bukan “Saya Pancasila, Saya Korupsi”.
*Artikel ini pernah dimuat di detik.com edisi 2 Juni 2021