R Ferdian Andi R
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Debat perdana capres-cawapres lalu, masing-masing calon presiden mengajukan gagasan terkait penataan regulasi di Indonsia. Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo mengusulkan pembentukan Pusat Legislasi Nasional sebagai lembaga yang berfungsi melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Lembaga ini langsung di bawah kendali presiden.
Sedangkan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menekankan penguatan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan menggandeng para pakar di bidang hukum untuk melakukan harmonisasi peraturan perundnag-undangan dari pusat hingga daerah. Dua gagasan yang muncul dalam debat perdana capres-cawapres dalam Pemilu 2019 ini menjadi refleksi tentang persoalan akut di bidang perundang-undangan di Indonesia.
Jika diidentifikasi persoalan pelik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia di antaranya disebabkan inkompetensi badan pembuat peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah, inkonsistensi program legislasi baik di pusat maupun di daerah, serta lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Ketiga masalah besar tersebut saling berjalin kelindan yang menyebabkan ekses buruk dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Seperti benturan norma antar-hirarki peraturan perundang-undangan, inkonstitusionalitas norma di UU, legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU hingga terjadinya over-regulasi.
Kondisi obyektif itulah yang meniscayakan kebutuhan perubahan yang mendasar di bidang legislasi di Indonesia. Proses reformasi politik yang dimulai sejak tahun 1998 yang salah satunya menghasilkan amandemen konstitusi berimplikasi pada penataan kelembagaan negara, tak terkecuali terhadap badan pembuat undang-undang (law maker).
Hal yang mendasar terjadi paska amandemen yakni soal kekuasaan legislasi yang semula berada di ranah ekskeutif sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, paska amandemen kekuasaan legislasi itu berpindah ke ranah legislatif sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Kendati demikian, pergeseran kekuasaan legilasi ini hakikatnya tetap sama khususnya dalam ranah pembentukan UU harus melibatkan dua lembaga pembuat UU yakni DPR dan Presiden. Bahkan dalam titik lainnya, kekuasaan legislasi itu sejatinya belum bergeser dari eksekutif ke legislatif.
Sejumlah kewenangan yang dimiliki eksekutif (Presiden) memberi ruang cukup besar dalam tugas legislasi. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, seperti tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden memiliki ruang yang cukup luas dalam bidang legislasi. Seperti pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945).
Seperti dungkapkan Bagir Manan (1995), dalam pembentukan peraturan perundnag-undangan tidak mungkin hanya dibebankan kepada lembaga legislatif saja, namun administrasi negara juga memiliki kewenangan untuk mengatur tanpa mengabaikan asas negara hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Pusat Legislasi Nasional
Ide Jokowi membentuk Pusat Legislasi Nasional saat debat perdana capres-cawapres memang tidak diuraikan secara detail bagaimana tugas dan operasional lembaga tersebut. Ide tersebut menimbulkan pro dan kontra.
Pihak yang tidak setuju dengan ide tersebut menyandingkan dengan perubahan konstitusi soal pergeseran kekuasaan legislasi yang tak lagi di ranah eksekutif. Ide tersebut dinilai missleading, karena presiden tak lagi memiliki kekuasaan legislasi, seperti format sebelum amandemen konstitusi.
Namun, gagasan Jokowi ihwal pembentukan Pusat Legislasi Nasional sebagai respons atas karut marut persoalan peraturan perundang-undangan bisa saja sebagai refleksi selama empat tahun menjadi presiden, persoalan peraturan perundang-undangan kerap menjadi perhatian serius Jokowi.
Seperti pada pertengahan tahun 2016 lalu, pemerintah pusat membatalkan 3.143 peratruan daerah (Perda) yang dinilai bertentangan dengan aturan di atasnya, menghambat investasi serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Meski melalui putusan MK No 56/PUU-XIV/2016, MK membatalkan kewenangan pemerintah pusat yakni kewenangan membatalkan perda provinsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 251 ayat (7) UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam berbagai forum Jokowi juga kerap mengeluhkan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat ruang gerak pemerintah. Suatu kali, Jokowi juga mengkritik DPR dalam pembuatan UU yang dinilai terlalu banyak. Sontak saja, kritik ini dinilai bagian otokritik terhadap pemerintah. Karena prosedur pembentukan UU harus melibatkan dua lembaga yakni DPR dan eksekutif.
Jika memaknai ide Pusat Legislasi Nasional sebagai badan yang hanya mengurus persoalan legislasi di internal pemerintahan, tentu gagasan ini memiliki relevansinya. Apalagi, kewenangan legislasi yang dimiliki pemerintah yang sifatnya mandiri (tanpa melibatkan legislatif) cukup dominan seperti keputusan (besluiten van algemeen strekking) yang masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.
Belum lagi persoalan di internal eksekutif, kewenangan legislasi yang dimiliki eksekutif dalam kenyataannya menimbulkan persoalan serius. Kondisi ini terkonfirmasi dari data Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2016 lalu, lembaga eksekutif seperti peraturan menteri dan lembaga non kementerian memproduksi peraturan perundangan-undangan sedikitnya 1.470 regulasi. Pemerintah justru banyak menerbitkan regulasi yang dalam titik tertentu menghambat kerja pemerintah.
Masalah lainnya soal program legislasi eksekutif yang tampak tak teragendakan dengan baik. Pembentukan peraturan yang sifatnya atribusian maupun delegasian yang dimiliki pemerintah dalam beberapa kasus menimbulkan masalah. Lambatnya pembentukan Peraturan Pemerintah kerap menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU). Pemicunya di antaranya soal koordinasi antar-kementerian dan lembaga.
Keberadaan Pusat Legislasi Nasional jika dimaknai dalam konteks lembaga yang bertanggungjawab dalam urusan legislasi eksekutif, tentu ide ini patut didukung dengan catatan harus jelas tugas, pokok dan fungsinya. Badan ini harus dipastikan tidak bertabarakan dengan badan-badan lainnya khususnya di bidang legislasi Seperti Kementerian Hukum dan HAM yang di dalamnya terdapat BPHN. Bahkan bila terjadi kesamaan tugas, baiknya lembaga-lembaga yang mengurus legislasi di level eksekutif dilebur menjadi satu di Pusat Legislasi Nasional.
Kerja utama lembaga ini idealnya mampu mengkonsolidasikan kewenangan legislasi yang dimiliki penyelenggara administrasi negara mulai dari pusat hingga daerah. Baik kementerian negara, lembaga negara non kementerian, pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga lainnya yang memiliki kewenangan legislasi.
Selain itu, secara simultan lembaga ini membentuk sistem big data terkait dengan produk legislasi di level eksekutif. Hal ini penting untuk menjawab kebutuhan jaman yang mengharuskan pengarsipan melalui sistem digital serta memudahkan inventaris produk legislasi dalam merespons perubahan produk hukum baik melalui perubahan UU melalui parlemen maupun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baik dalam konteks negative legislator (putusan yang membatalkan norma) maupun positive legislator (putusan yang sifatnya membuat norma).
Penguatan BPHN
Adapun gagasan penguatan BPHN dengan dukungan para ahli hukum yang dilontarkan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto bukanlah ide baru. Dalam praktiknya, BPHN telah melakukan hal serupa terkait dengan tupoksi yang dimiliki lembaga legislatif milik eksekutif ini.
Dalam praktiknya, upaya yang dilakukan BPHN selama ini belum mampu mengurai karut marut persoalan legislasi di Indonesia. Karena memang masalahnya bukan pada kelembagaan BPHN, tetapi soal sistem di internal pemerintahan yang terjadi overlapping dan lemahnya koordinasi antar-instansi pemerintahan. Apalagi, posisi BPHN yang menjadi bagian dari Kementerian Hukum dan HAM memiliki beban lebih besar dibanding kapasitas kelembagaan yang dimilikinya.
Penguatan BPHN dapat dilakukan bila lembaga ini ditarik dari Kementerian Hukum dan HAM menjadi lembaga mandiri yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Langkah penarikan kelembagaan ini memberi pesan penting tentang urgensi penataan regulasi di Indonesia. Jika langkah ini ditempuh, ide Prabowo Subianto bukanlah ide biasa dalam penataan regulasi di Indonesia.
Di atas semua itu, gagasan yang mencuat dalam debat perdana oleh para capres menandakan ada persoalan serius dalam regulasi di Indonesia. Penataan regulasi harus dilakukan secara simultan dari pusat hingga daerah. Pembentukan sistem yang kukuh diharapkan dapat mengurai masalah pokok di sektor regulasi di Indonesia.