Analisa

Buruk Muka Regulasi Lima Hari Sekolah

Oleh:R. Ferdian Andi R
Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Peneliti Hukum Konstitusi di Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Alumnus Pondok Pesantren Al-Multazam Balung, Jember.

Polemik soal belajar delapan jam sehari atau full day school yang diformat dalam bentuk Lima Hari Sekolah masih terus muncul di tengah-tengah masyarakat. Ide yang diakomodasi melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 ini sejak bulan Juni lalu telah memantik perdebatan panjang di masyarakat.

Sejumlah elemen masyarakat di antaranya Nahdlatul Ulama (NU) salah satu ormas yang paling getol menolak ide ini. Ekspresi penolakan atas ide ini juga muncul melalui demonstrasi di sejumlah wilayah seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua fraksi di DPR yakni Fraksi PPP dan Fraksi PKB juga paling getol menolak kebijakan ini. Seperti Fraksi PPP awal Agustus ini secara resmi membuka posko pengaduan masyarakat terkait implementasi full day school ini. Sedangkan Fraksi PKB terus menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tersebut.

Bagi kalangan penolak program pemerintah ini menilai, sekolah delapan jam sehari bakal mematikan Madrasah Diniyah (Madin) dan pendidikan nonformal yang telah tumbuh di tengah masyarakat sejak lama. Karena jika sekolah formal diselenggarakan hingga delapan jam, maka alokasi waktu anak-didik tersedot untuk pendidikan formal di sekolah. Padahal penyelenggaraan pendidikan nonformal seperti Madin dilakukan pada sore hari, usai anak sekolah pulang sekolah atau bahkan di saat sekolah berlangsung.

Merespons penolakan di publik atas rencana program sekolah delapan jam, pertengahan bulan Juni lalu, pemerintah mengambil sikap Permendikbud 23 Tahun 2017 yang isinya soal aturan delapan jam sekolah itu tidak efektif hingga terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) yang mengakomodasi aspirasi dari masyarakat tentang delapan jam belajar atau lima hari seklah tersebut.

Meski dalam praktiknya, sekolah delapan jam tetap efektif berjalan di sejumlah daerah yang dimulai sejak awal tahun ajaran baru tengah bulan Juli lalu. Padahal sebelumnya pemerintah memastikan full day school ini tidak efektif hingga turunnya Perpres, meski hingga saat ini Perpres yang dijanjikan pemerintah itu tak kunjung terbit.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas soal keunggulan dan kelemahan penerapan full day school sebagaimana diatur dalam Permendikbud 23 Tahun 2017 itu. Karut marut penerapan delapan jam belajar ini bermuara dari regulasi yang diterbitkan pemerintah. Karena persoalan serupa tidak hanya dalam perkara full day school saja, sebelumnya pada akhir tahun lalu soal kenaikan pengurusan STNK dan BPKB melalui PP No 60 tahun 2016 juga menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.

Partisipasi masyarakat dan penyebarluasan
Landasan yuridis penerbitan Permendikbud No 23 Tahun 2017 mengacu kepada sejumlah regulasi seperti UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 5 Tahun 2014 tentang Apratur Sipil Negara, PP No 74 Tahun 2008 tentang Guru, PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan sejumlah regulasi lainnya.

Namun sayangnya, Permendikbud No 23 Tahun 2017 itu mendapat respons miring dari publik. Sejumlah protes muncul dari masyarakat. Kondisi ini tidak akan terjadi, bila pemerintah berpegang secara konsisten prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, instrumen partisipasi masyarakat serta penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat menjadi jalan keluar atas persoalan yang kerap muncul dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Karena, dalam setiap penyusunan peraturan perundang-undangan semua harus terprogram dan terencana mulai dari perencanaan, penyusunan hingga pengundangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan.

Di tingkat eksekutif terdapat Program Penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peratruan Presiden yang disusun setiap awal tahun. Sedangkan di legislatif memiliki instrumen berupa Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah di setiap akhir tahun.

Seperti ketentuan di Pasal 183 ayat (2) Perpres No 87 Tahun 2014 disebutkan masyarakat memiliki ruang untuk menyampaikan pendapatnya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan melalui instrumen konsultasi publik. Ketentuan konsultasi publik merujuk ketetuan di pasal yang sama diwujudkan dengan peraturan menteri hukum dan HAM. Meski, hingga saat ini, Pemenkumham terkait dengan konsultasi publik tersebut tak kunjung disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Partisipasi masyarakat ini sejalan dengan gagasan demokrasi deliberatif yang digaungkan oleh Juergen Habermas dengan menekankan bahwa hukum dapat dipatuhi jika dihasilkan melalui diskursus praktis dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang berupa opini publik dan aspirasi politis (F. Budi Hardiman, 2009). Hal ini juga linier dengan posisi Indonesia yang sekaligus sebagai salah satu inisiator dalam open goverment partnership (OGP) yang menekankan transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Hal lain yang juga memiliki peran penting dalam pembentukan peraturan perndang-undangan yakni berupa penyebarluasan peraturan perundangan-undangan. Dalam konteks ini, penyebarluasan program penyusunan peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (Perpres), baik dalam tahap penyusunan, rancangan Peraturan Pemerintah dan rancangan Perpres termasuk juga menyebarluaskan PP dan Perpres yang telah diundangkan. (Pasal 180 Perpres No 87 Tahun 2014).

Sayangnya, pemerintah tampak alpa terkait ketentuan tersebut. Alih-alih publik mengetahui proses program penyusunan Permendikbud 23 Tahun 2017, pubik jutsru baru mengetahui setelah regulasi tersebut diundangkan pada 12 Juni 2017 lalu. Signifikansi dari penyebarluasan tersebut tentu agar publik memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasinya terhadap produk hukum yang akan diundangkan.

Analisis Dampak Penerapan Peraturan
Poin lainnya yang tak kalah penting dilakukan oleh pembuat peraturan perundangan-undangan yakni melakukan analisa dampak penerapan peraturan perundang-undangan atau regulatory impact assessment. Instrumen ini cukup penting dalam setiap merumuskan sebuah peratruan perundang-undangan.

Kajian yang mendalam atas setiap peraturan yang akan diundangkan merupakan kunci atas efektif tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan cara ini diyakini setiap produk hukum yang dihasilkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan dapat memotret secara obyektif terhadap obyek hukum yang bakal menjalankan ketentuan dalam peraturan tersebut.

Dalam konteks Permendikbud No 23 Tahun 2017 ini, semestinya sejak awal pemerintah dapat mengetahui kondisi sosial masyarakat atas penerapan sekolah delapan jam. Masukan dan aspirasi yang muncul dari masyarakat dapat menjadi bahan penting bagi pemerintah dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan. Kondisi yang dipotret tentu bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kota besar lainnya namun juga daerah-daerah yang jauh dari keramaian di pelosok nusantara.

Setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki spirit konstitusional yakni berupa perlindungan terhadap segenap warga negara tanpa terkecuali. Pertauran yang merugikan hak konstitusional warga negara tentu secara terang melanggar spirit konstitusi. Hal ini pula yang disuarakan oleh Ronald Drowkin (1986), membaca konstitusi tidak sekadar teks yang tertulis dalam kitab konstitusi, namun konteks dari norma konstitusi berupa moral (moral reading) dan etik tersebut juga harus dibaca.

Rencana pemerintah yang akan menerbitkan Perpres untuk mengakomodasi aspirasi yang muncul atas rencana penerpaan full day school juga bukanlah jalan keluar yang tepat. Gagasan tersebut jelas tanpa melalui perencanaan yang matang alias ide ujug-ujug yang tak terencana. Padahal, pemerintah setiap awal tahun telah membuat rencana kerja legislasi seperti Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres).

Kondisi ini justru memukul mundur atas rencana reformasi legislasi yang digaungkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu itu. Alih-alih hendak mereformasi legislasi, pemerintah justru menghadirkan wajah buram dalam legislasi. Permendikbud No 23 Tahun 2017 menjadi contoh nyata buruknya perencanaan dan pengkajian sebuah regulasi. [tulisan ini tayang di www.nu.or.id, edisi Jumat (25/8/2017)]

Click to comment

Most Popular

To Top