JAKARTA – Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengusulkan penghapusan pemilihan gubernur yang dilanjutkan dengan penghapusan jabatan gubernur. Alasannya, pilgub dan jabatan gubernur tidak efektif dan tidak langsung bersentuhan dengan rakyat. Namun, ide Cak Imin ini dinilai ahistoris.
Peneliti senior Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Rahmat Saputra menilai gagasan Muhaimin Iskandar untuk menghapus pemilihan gubernur dan jabatan gubernur merupakan gagasan yang ahistoris. “Menghapus pemerintah provinsi jelas gagasan yang ahistoris, mengabaikan sejarah panjang otonomi daerah. Gagasan ini juga keluar dari konstitusi,” ujar Rahmat di Jakarta, Senin (6/2/2023).
Pengajar Hukum Otonomi Daerah di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini menyebutkan gagasan penghapusan jabatan gubernur atau pemerintah provinsi secara nyata bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1-4) UUD 1945. Menurut dia, konsuensi dari penghapusan jabatan gubernur atau pemerintah provinsi dengan mengubah UUD 1945. “Ongkos dan turbulensi menghapus jabatan gubernur atau pemerintah provinsi tidak kecil. Ini yang harus dibaca Cak Imin,” saran Rahmat.
Dia menilai, logika yang dibangun Muhaimin tampak tercerabut dari akar sejarah keberadaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam rentang sejarang perjalanan otonomi daerah, dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan mengikuti kebutuhan jaman. “Desain otonomi daerah ditempatkan dalam konsep negara kesatuan yang memiiki keragaman budaya, geografis dan kompleksitas masalah yang berbeda-beda,” cetus Rahmat.
Rahmat tidak menampik sejumlah persoalan yang disampaikan Muhaimin muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah khususnya di pemerintah provinsi. Hanya saja, kata Rahmat, solusi atas persoalan yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah bukan dengan cara menghapus pemeirntah provinsi. “Pelaksanaan otonomi daerah memang tidak berjalan optimal. Tapi bukan berarti solusinya pemerintah provinsi dihapus,” sebut Rahmat.
Rahmat menguraikan sejumlah masalah yang ditemui dalam pelaksanaan pemerintaha provinsi yakni ketidakmapuan pemprov untuk menjembatani antara kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan realitas masyarakat di daerah. “Gubernur seringkali gagal meredam gejolak maupun konflik di daerah masing-masing,” urai Rahmat.
Masalah lainnya, Rahmat menguraikan, pengelolaan aset antar kabupaten/kota hasil pemikiran daerah otonomi baru (DOB) dengan daerah induknya, pengisian pejabat struktural yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang kerap bermasalah mulai soal penyelundupan hukum serta mengangkat personil atau mencopot personil dengan pertimbangan politis. “Masalah-masalah tersebut harus dilakukan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah pusat. Peran legislatif daerah juga harus dioptimalkan. Ujung-ujungnya partai politik di daerah harus bekerja,” tandas Rahmat.
Sedangkan gagasan penghapusan pilgub langsung, Rahmat menyebutkan hal tersebut juga bertentangan dengan konstitusi bila dimaknai dengan penunjukan gubernur oleh Presiden. “Kalau penghapusan pilgub dimaknai dengan penunjukan gubernur oleh Presiden ini bertentangan dengan konstitusi dan spirit refoormasi. Kecuali, pilkada langsung digantikan dengan pemilihan melalui DPRD, ini masih bisa didialogkan karena sama-sama prinsip demokratis,” tandas Rahmat.
[redaksi]