Judul Buku : Pokok-Pokok Penataan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Penulis : Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H.
Penerbit : Konstitusi Pers
Terbit : Agustus, 2020
Halaman : xxxiv +258
PERSOALAN legislasi di Indonesia masih menjadi masalah krusial dalam tata kelola pemerintahan. Gagasan reformasi legislasi yang telah disuarakan Pemerintahan Presiden Jokowi sejak periode pertama. Namun hingga saat ini impelementasi reformasi di bidang peraturan perundang-undangan belum berjalan optimal.
Buku yang berasal dari kumpulan tulisan di jurnal dan makalah ilmiah dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) jika diperas mengusung ide yang selama enam tahun terakhir ini menjadi salah satu fokus pemerintah yakni mengenai reformasi legislasi dan regulasi.
Buku ini terdiri dari tiga bab ini dengan rincian; bab 1 Penataan Jenis, Hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan, bab 2 Penataan kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan dan bab 3 Penataan prosedur dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Paparan di bab 1 menjadi hulu dari persoalan penataan legislasi di Indonesia yakni mengenai penataan jenis, hierarki serta materi muatan. Banyak persoalan yang muncul di lapangan baik di pemerintahan tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Tak sedikit, mengenai persoalan jenis, hirarki dan materi muatan ini menimbulkan persoalan di lapangan. Bisa kita lihat praktik di lapangan tidak sedikit peraturan kebijakan (beliedregels) yang diterbitkan oleh kepala daerah di Indonesia berupa Surat Edaran (SE).
Persoalan mengenai jenis, hirarki dan muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini tidak hanya terjadi di daerah saja, namun persoalan tersebut di tingkat pusat juga terjadi. Hal tersebut seperti disinggung oleh penulis di halaman 51-73 mengenai kewenangan pembentukan peraturan negara studi kasus pada KPK
Satu poin rekomendasi di bab 1 ini ada baiknya segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat peta jalan (roadmap) reformasi legislasi dan regulasi dengan membentuk sistem yang kukuh dan ajeg dalam menata regulasi di Indonesia terkait dengan siapa yang berwenang? Bagaimana caranya? Apa targetnya?
Di bab II tak kalah menarik isu yang dibahas di bab ini. Ada satu poin penting yang bisa disebut sebagai core bab ini yakni mengenai keberadaan Presiden dalam penataan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (Halaman 160-169). Dalam sistem presidensial, posisi Presiden memiliki peran yang cukup penting dalam penataan regulasi di Indonesia, tak terkecuali produk regulasi di level daerah (Perda/Perkada).
Apalagi, jika melihat realitas di lapangan, produksi regulasi justru banyak di produksi dari pihak eksekutif. Over-regulasi justru muncul dari sisi eksekutif. Dalam konteks tersebut, Presiden memiliki peran yang cukup penting. Belum lagi posisi Presiden dalam pembentukan UU memiliki peran yang cukup penting (jika Presiden tidak setuju terhadap sebuah RUU, maka UU tidak bisa disetujui), termasuk kewenangan pembentukan Perppu yang eksklusif dimiliki Presiden.
Gagasan pembentukan Pusat Regulasi Nasional yang disuarakan saat kampanye Pemilu 2019 lalu sejatinya ideal untuk segera direalisasikan. Karena memang pokok persoalan regulasi berada di sisi ekskeutif. Sayangnya, gagasan setahun yang lalu itu hingga saat ini tak kunjung dilakukan.
Di bab III memuat isu yang paling banyak dibincangkan oleh masyarakat Indonesia yakni tentang omnibus law. Ominibus Law sebagai metode tentu mengandung plus-minus, penulis telah mengungkapkan secara detil atas metode ini. Baik dari sisi konsep, praktik di sejumlah negara (Hal 172-199).
Karut marut yang terjadi di UU No 11 Tahun 2020 ini sejatinya bukan soal metode atau konsep pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan mengenai mekanisme yang diduga diabaikan oleh perumus UU (law maker) baik dalam tahapan perencanaan, pembahasan, persetujuan hingga pengundangan.
Di samping itu, di bab ini juga menyinggng mengenai peraturan daerah (Perda) yang kerap dikeluhkan Presiden, semestinya tak pelru muncul keluhan tersebut, jika Presiden memaksimalkan peran pengawasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme executive preview yang dimiliki pemerintah pusat semestinya dapat lebih dimaksimalkan.
Konsepsi Negara Kesatuan di Indonesia semestinya diwujudkan dengan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah khususnya dalam bidang regulasi. Tulisan penulis di halaman 231-253 menjadi guidance untuk memastikan produk hukum di daerah tidak melanggar doktrin teori hukum berjenjang.
Buku ini tentu berbeda dengan format buku utuh yang memiliki kesinambungan, kerunutan dari satu tulisan dengan tulisan lainnya. Ini lantaran, isi buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah. Meski demikian, buku ini cukup kuat dari sisi ide yakni mengenai penataan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penerbitan buku ini hadir di momentum yang tepat yakni saat pembahasan RUU Cipta Kerja yang mendapat perhatian dari publik. Selain itu, penerbitan buku ini bertepatan dengan enam tahun pemerintahan Jokowi di periode kedua yang sejak awal mengkampanyekan reformasi legislasi di Indonesia. Buku ini bisa disebut sebagai kompas pemandu sekaligus peringatan bagi pemerintahan Presiden Jokowi terkait dengan agenda reformasi legislasi yang sejak periode pertama lalu telah digaungkan.
Buku ini layak dimiliki oleh akademisi khususnya di Fakultas Hukum di berbagai tingkatan, legislator, penyelenggara pemerintah dari daerah hingga pusat. Buku ini dapat disebut sebagai buku pengantar dalam urusan reformasi legislasi yang akan ditindaklanjuti dengan melahirkan buku babon yang lebih mendalam dan komprehensif yang berisi peta jalan penataan regulasi di Indonesia.
[Redaksi/Foto: shopee.co.id]