Analisa

Disrupsi Legislasi

Oleh: R Ferdian Andi R
(Peneliti Puskapkum/Dosen FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)

Era digital telah melahirkan disrupsi hampir di semua sektor kehidupan umat manusia. Tak terkecuali dalam urusan legislasi yang dilakukan oleh badan-badan negara pembuat undang-undang seperti DPR dan Presiden. Dalam konteks ini diruspi terjadi dalam pola penyampaian pendapat, masukan dan kritik atas proses legislasi yang dilakukan oleh law maker.

Keberadaan media sosial dan platform digital seperti petisi dalam jaringan (daring) menjadi medium penyampaian aspirasi langsung ke badan-badan pembuat UU atau regulasi. Melalui media sosial warga negara melalui saluran internet menyampaikan pendapatnya langsung menyebut (mention) kepada pihak yang memiliki otoritas baik lembaga maupun individu yang terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

Namun secara normatif, penyampaian partisipasi masyarakat dalam proses legislasi telah diatur dalam Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam ketentuan terebut diatur model penyampaian partisipasi masyarakat seperti rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, lokakarya, diskusi dan seminar.

Model penyampaian partisipasi jika merujuk UU tampak kaku, formal dan seremoni. Terlebih jika disandingkan dengan praktik yang belakangan lazim dilakukan oleh warga negara dalam merespons pembahasan sebuah UU atau regulasi. Warga negara bebas tanpa aturan formal saat menyampaikan aspirasinya langsung terhubung kepada pihak yang memiliki otoritas.

Sejumlah contoh kasus praktik disrupsi legislasi muncul sejak masifnya saluran digital di Indonesia. Sebut saja saat rencana revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada tahun 2012 silam. DPR menarik draft perubahan UU KPK setelah mendapat banyak desakan dari warga internet (internet citizen) agar mengurungkan rencananya. Tanda pagar #TolakPelemehanKPK menjadi simbol perlawanan atas rencana parlemen tersebut.

Legislasi disrupsi tidak hanya terjadi di level legislatif, di ranah eksekutif praktik tersebut juga pernah terjadi. Seperti di akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sesaat pengesahan UU Pemilihan Kepala Daerah pada akhir September 2014.

UU Pilkada yang memuat ketentuan pilkada tak lagi dilakukan melalui pilkada langsung namun melalui pilihan DPRD, ditolak warga internet dengan membuat tanda pagar #ShameOnYouSBY. Tagar tersebut sebagai bentuk protes atas keputusan DPR dan pemerintah yang meloloskan UU Pilkada. Tak berselang sepekan, SBY membatalkan UU Pilkada dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.

Dua contoh tersebut menggambarkan kekuatan warga internet dalam menekan pembuat UU untuk melakukan tindakan sesuai yang diinginkan. Media sosial telah menjadi entitas politik penekan yang cukup berpengaruh. Dalam konteks ini, media sosial mengambil peran penting dalam politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, setidkanya di dua kasus yang pernah terjadi tersebut.

RUU Permusikan dan RUU PKS
Eksistensi media sosial kini kembali menunjukkan ‘tajinya’ khususnya dalam merespons dua rancangan undang-undang (RUU) yang mendapat perhatian luas dari publik yakni RUU Permusikan dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Kegaduhan di media sosial dalam dua pekan terakhir ini tampak menguat dalam merespons dua RUU tersebut. Sejumlah petisi dalam jaringan (daring) muncul sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pembahasan dua RUU itu. Hal yang sama juga terjadi di berbagai platform media sosial seperti twitter, facebook dan instagram.

Meski, perlu digarisbawahi karakteristik partisipasi warga internet dalam merespons proses legislasi melalui saluran digital, kerapnya tidak membahas substansi materi secara detail. Warga internet hanya memotret salah satu pasal atau ketentuan yang dianggap bermasalah.

Dalam konteks RUU Permusikan yang saat ini mendapat banyak perhatian dari pekau musik dan pekerja seni yang dinilai bakal membelenggu kreativitas musik para musisi. Tanda pagar #TolakRUUPermusikan merupakan bentuk ekspresi penolakan atas keberadaan draft RUU Permusikan.

Seperti keberadaan Pasal 5 RUU Permusikan dinilai membelenggu kreativitas para musisi. Begitu pula pasal 32 tentang uji kompetensi yang dinilai tidak tepat diterapkan bagi para musisi.

Dalam kasus RUU PKS, setali tiga uang. Keberadaan RUU ini yang semula sebagai bentuk respons atas sejumlah peristiwa kekerasan seksual yang menimpa perempuan, belakangan mendapat protes dari komunitas perempuan. Melalui petisi daring “Tolak RUU Pro Zina”, komunitas perempuan menolak keberadaan RUU itu karena sejumlah materi di draft RUU itu dinilai melegalkan dan permisif terhadap praktik perzinahan.

Ketentuan lainnya yang tertuang dalam dua RUU tersebut tentu tidak menjadi bahasan warga internet, khususnya pihak pemrotes. Adagium “nila setitik, rusak susu sebelanga” dapat mewakili ekspresi yang muncul dari warga internet dalam melihat sebuah proses legislasi melalui digital.

Ada satu ketentuan yang dianggap tidak benar, maka lainnya dianggap tidak benar pula. Situasi ini terjebak pada praktik cara berpikir fallacy of dramatic instance yakni penggunaan sampel satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum (over-generalitation) (Jalaludin Rakhmat, 1999).

Model partisipasi masyarakat melalui media sosial ini dalam kerangka ilmu kenegaraan disebut sebagai representation in ideas (Jimly Ashiddiqie, 2006) yang disuarakan oleh rakyat melalui saluran media massa termasuk di dalamnya media sosial sebagai “media baru” (new media) di era digital seperti saat ini.

Produk Hukum Populis
Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan dapat menjadi pintu masuk menghadirkan produk hukum yang responsif, menurut Mahfud MD (2011), yakni yang mencerminkan harapan dan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidak hanya itu, karakteristik hukum responsif juga berisi muatan yang aspiratif dan isinya limitatif.

Dalam konteks partisipasi masyarakat melalui saluran media sosial, apakah masuk dalam kategori hukum responsif? Jika melihat pola dan karakteristik penyampaian aspirasi yang muncul melalui saluran internet, terdapat titik lemah dalam pola penyampaian aspirasi melalui media sosial ini.

Pertama, pembahasan sebuah RUU di ruang digital tidak dibahas secara detail layaknya pembahasan sebuah RUU di ruang diskusi, seminar, serta rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR. Memotret pada obyek tertentu serta hanya fokus pada ketentuan-ketentuan yang dianggap bermasalah dijadikan landasan untuk pengambilan sikap yang biasanya hitam putih; tolak atau dukung.

Kedua, pengambilan “suara” dalam menilai sebuah RUU dilakukan dengan pembangunan opini (opinion building) melalui data kuantitatif yang diwujudkan melalui topik yang paling banyak dibicarakan (trending topic) termasuk pengumpulan petisi sebanyak-banyaknya melalui fasilitas daring. Di titik lainnya, apa yang terjadi di media sosial tidak sedikit ditransformasi melalui media konvensional sebagai basis pemberitaan, begitu juga sebaliknya.

Dalam konteks tersebut, Lawrence M Freidmen (1975) mengingatkan bahwa opini publik tidaklah selalu menggambarkan kekuatan sosial sebenarnya terhadap hukum. Karena dalam praktiknya, relasi opini publik dan hukum tak ubahnya hubungan antara ekonomi dan pasar. Ada kalanya sebagian orang memiliki kepentingan akan komoditas tertentu sehingga komoditas tersebut menjadi penting. Ada kalanya pula, sebagian orang memiliki lebih banyak kemampuan dan kekayaan daripada lainnya. Hal itu pula yang terjadi dalam relasi opini publik dan hukum.

Akhirnya, partisipasi masyarakat melalui saluran digital dalam penyampaian aspirasi dalam hal penyusunan sebuah UU di era digital ini telah menjadi enitas penting yang cukup berpengaruh. Produk hukum yang dihasilkan dari aktivitas tersebut pada akhirnya melahirkan produk hukum populis yang mengacu pada proses emosionalisasi politik melalui pemotretan pada obyek tertentu yang dianggap bermasalah. Alih-alih RUU dibahas melalui proses debat dan diskusi, yang terjadi hitam dan putih, menolak atau menerima.

Artikel ini tayang di Koran Sindo, edisi Kamis (14/2/2019)

Click to comment

Most Popular

To Top