Ferdian Andi (Pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta/Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/PUSKAPKUM)
PERSOALAN pendidikan belakangan terjebak pada isu teknis yang menjauh dari isu ketatanegaraan. Sebut saja persoalan perubahan kurikulum, sengkarut penerimaan peserta didik baru (PPDB), rekrutmen calon mahasiswa baru, kekerasan di lingkungan pendidikan, integritas dunia akademik, hingga persoalan besaran uang kuliah tunggal (UKT).
Padahal, sektor pendidikan dan negara seperti koin mata uang, keduanya jalin berkelindan satu dengan lainnya. Pendidikan menjadi bagian penting dalam persoalan konstitusional kenegaraan. Tak sedikit konstitusi negara di dunia, memasukkan pendidikan ke dalam undang-undang dasar (constitutionalization of education) yang memuat di antaranya mengenai mandat besaran anggaran pendidikan (budget for education) maupun hak warga memperoleh akses pendidikan (right to education).
Pendidikan menjadi salah satu hulu tujuan bernegara. Sebagaimana tertuang di alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam pandangan Liav Orgad (2010) Preambule dalam UUD merepresentasikan pemahaman konstitusional dan keyakinan para pendiri bangsa (the founding fathers).
Dengan kata lain, isu pendidikan menjadi isu yang diperhatikan serius oleh para pendiri bangsa. Seturut dengan hal tersebut, pendidikan menjadi salah satu sektor yang menjadi hak dasar warga negara yang tertuang dalam hak asasi manusia (HAM).
Di sisi lain, bila membuka data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023 lalu, terungkap akses pendidikan masyarakat Indonesia masih didominasi berpendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ke bawah. Hal tersebut dengan rincian tamat SMP/sederajat sebanyak 22,74 persen, tamat SD/sederajat sebanyak 24,62 persen, dan tak memiliki ijazah sebanyak 12,26 persen. Sedangkan tamat SMA/sederajat sebanyak 30,22 persen, tamat perguruan tinggi hanya 10,15 persen.
Situasi paradoksal ini bertolak belakang dengan nilai pentingnya pendidikan bagi sektor publik lainnya. Pendidikan memiliki persenyawaan (chemistry) dengan sektor lainnya seperti kualitas hidup manusia, demokrasi, hingga pembentukan negara hukum yang baik. Semakin membaik angka harapan lama sekolah, maka secara linier akan memberi dampak pada kualitas masyarakat Indonesia di pelbagai aspek, khususnya dalam pelaksanaan demokrasi.
Penguatan Demokrasi
Ragam catatan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia oleh pelbagai lembaga, sepatutnya menjadi bahan refleksi dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Kerapnya, pembahasan demokrasi hanya bertumpu pada institusi demokrasi, baik penyelenggara negara yang direpresentasikan oleh kinerja cabang-cabang kekuasaan maupun kedudukan partai politik sebagai lembaga rekrutmen jabatan publik.
Padahal, tak kalah penting dalam penyelenggaraan demokrasi, yakni keberadaan warga negara (rakyat) yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan demokrasi. Demokrasi menjadikan rakyat sebagai pelaku utama dalam pembentukan pemerintahan; dari rakyat (from the people), oleh rakyat (government by people), dan untuk rakyat (government for the people). Namun, khusus yang terakhir, yakni pemerintahan untuk rakyat, kerap menjadi titik krusial dalam penyelenggaraan demokrasi.
Pada poin ini terdapat gap antara kebijakan negara satu sisi, dengan kepentingan rakyat di sisi lain. Alih-alih kebijakan negara dipersembahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tak jarang kebijakan negara justru memunggungi kepentingan publik.
Demokrasi direduksi pada mekanisme prosedural melalui pemilihan umum (pemilu) di bilik suara dengan mantra magis “rakyat yang berdaulat”. Namun dalam pengelolaan pemerintahan, rakyat tak lagi berdaulat. Prinsip dasar dalam negara hukum bahwa setiap tindakan negara harus mendapat restu dari rakyat disimplifikasi melalui persetujuan formal pembentuk undang-undang (law maker) dengan tanpa melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari publik.
Padahal, demokrasi menjadi instrumen untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat, keduanya berjalin kelindan, tak dapat dipertentangkan. Muara dari demokrasi dan kesejahteraan tak lain dengan menempatkan rakyat sebagai subyek dalam setiap perumusan, penyelenggaraan, termasuk pengawasan kebijakan yang berdampak bagi publik. Bukan menempatkan demokrasi menjauh dan memisah dari kesejahteraan.
Pada titik inilah, pendidikan memiliki signifikansi bagi penyelenggaraan demokrasi yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas bermuara dari pelaksanaan demokrasi yang baik. Karena hakikatnya, menurut pandangan Mark Ollsen, John Codd, dan Anne Marie O’Neill (2004) dalam Education Policy: Globalization, Citizenship, and Democracy, demokrasi menghadirkan negara kesejahteraan yang menghendaki perwujudan hak-hak kewarganegaraan, yakni hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak kesempatan bekerja dalam lingkungan sosial yang menjadi tanggungjawab bersama.
Pendidikan Sebagai Pendulum
Pendidikan memiliki peran strategis dalam pembangunan peradaban (civilization) sebuah negara. Koentjaraningrat (2015) memasukkan ilmu pengetahuan sebagai bagian penting dari keberadaan peradaban. Pada titik ini, pendidikan berhubungan erat dengan penyelenggaraan demokrasi.
Menurut sosiolog asal Amerika Serikat (AS), Seymour Martin Lipset (1960) dalam Political Man, The Social Bases of Politics, pendidikan seseorang memberi peluang lebih besar untuk mempercayai nilai-nilai demokrasi sekaligus mempraktikkannya. Tatu Vanhanen (2003) bahkan memasukkan akses melek huruf dan partisipasi pendidikan menjadi salah satu indikator penting dalam indeks sumber daya kekuasaan dalam pelaksanaan demokrasi. Dia menyebutkan bila distribusi akses pendidikan meluas di sebuah negara, maka praktik demokrasi di negara tersebut turut membaik.
Ragam pandangan tersebut semakin mengukuhkan betapa pentingnya pendidikan dalam penyelenggaraan demokrasi berkualitas. Tentu, pendidikan yang tak sekadar terasosiasikan pada jumlah angka harapan sekolah. Lebih dari itu, pendidikan yang termanifestasikan sebagai ruang pembentukan karakter, kepekaan sosial, serta menumbuhkan integritas yang tinggi.
Pada titik lain, sivitas akademika menjadi bagian penting dari civil society yang berperan menghadirkan pikiran alternatif bagi negara dalam setiap perumusan kebijakan publik. Lembaga pendidikan berperan sebagai pengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan agar terwujud good and clean government, sebagai manifestasi dari pelaksanaan demokrasi yang kuat.
Dari pendidikan akan melahirkan dialektika dalam demokrasi. Pendidikan juga akan melahirkan percakapan yang setara antara negara dengan warga negara dengan terbukanya ruang demokrasi yang sehat.
Pada titik ini, pendidikan menentukan hitam putihnya negara. Sebagaimana disebut Benjamin Disraeli (1804–1881), perdana menteri Inggris dua periode, “Upon the education of the people of this country the fate of this country depends”. [Ilustrasi: observerid]
(Artikel tayang di kompas.com, 26 Juni 2024)