Oleh: Ferdian Andi (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum)/Pengajar HTN-HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
KEBERADAAN tenaga honorer, baik di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, akan berakhir 28 November 2023.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) menerbitkan Surat Edaran (SE) B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei 2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pusat dan Daerah.
Beleidsregel ini tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) serta Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dari beleid ini, keberadaan tenaga honorer memang tak dikenal di nomenklatur ASN. ASN hanya terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Lebih rinci lagi, Pasal 99 Ayat (1) PP No 49/2018 memberi batasan, keberadaan pegawai honorer yang bekerja di instansi pemerintah diberi tenggat paling lama lima tahun sejak PP ini diundangkan pada 28 November 2018. Dengan kata lain, batas akhir keberadaan tenaga honorer, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, paling akhir pada 28 November 2023.
Dalam surat Kementerian PAN dan RB yang berjenis pseudo wetgeving (peraturan semu) ini, di angka 6 juga ada arahan tentang keberadaan tenaga honorer. Sedikitnya ada dua hal yang bisa dilakukan saat tenaga honorer dihapuskan.
Pertama, memerintahkan kepada pejabat pembina kepegawaian di instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk melakukan pemetaan tenaga honorer yang dapat diikutsertakan dalam seleksi calon PNS ataupun seleksi PPPK. Kedua, menyusun rencana strategis terhadap tenaga honorer yang tak memenuhi syarat dan tak lolos seleksi calon PNS dan PPPK.
Tenaga honorer secara praksis dan faktual telah menjadi bagian dari birokrasi di Indonesia yang memberi dampak pada akselerasi roda penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Crince le Roy (1976), birokrasi pada hakikatnya merupakan cabang kekuasaan keempat (fourth branch of the government), di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif, karena perannya tidak kecil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, penghapusan tenaga honorer harus dilakukan dengan cermat, hati-hati, dan perhitungan matang. Kalkulasi dan pertimbangan dengan pelbagai pendekatan penting untuk meminimalkan dampak atas kebijakan ini.
Berhitung dampak
Penghapusan tenaga honorer yang akan menimpa 410.010 orang ini harus dihitung secara presisi dampaknya, baik dampak politik, hukum, maupun sosial.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia (Apkasi) dalam salah satu bunyi rekomendasi rapat kerja nasional di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, meminta pemerintah pusat menunda penghapusan tenaga honorer hingga usai pelaksanaan Pilkada 2024. Alasannya agar penghapusan tenaga honorer tidak menjadi obyek politisasi menjelang Pemilu 2024.
Merujuk data Kementerian PAN dan RB per Juni 2021, tenaga honorer tersebar di sejumlah jenis pekerjaan, yakni tenaga administrasi 279.393 orang (184.239 berpendidikan D-III ke bawah), tenaga pendidik 123.502 orang, tenaga kesehatan 4.782 orang, dan tenaga penyuluh 2.333 orang.
Sejumlah hal berpotensi terjadi jika penghapusan tenaga honorer tidak disiapkan dengan kebijakan penyangga untuk meminimalkan dampaknya. Pertama, potensi menjadi penganggur pasca-penghapusan tenaga honorer. Ini akan dialami oleh mereka yang tidak memenuhi syarat administratif sebagai calon PNS ataupun calon PPPK.
Kedua, meningkatnya angka pengangguran sebagai dampak penghapusan tenaga honorer secara linier akan melahirkan persoalan sosial di masyarakat, akan jadi beban secara nyata pemerintah pusat dan daerah.
Ketiga, potensi lumpuhnya administrasi pemerintahan. Hilangnya tenaga honorer akan berdampak serius pada jalannya pemerintahan, khususnya untuk daerah otonomi baru (DOB) yang jumlah tenaga honorernya lebih banyak daripada jumlah PNS.
Langkah simultan
Dibutuhkan pemetaan untuk merumuskan langkah konkret guna meminimalkan dampak penghapusan tenaga honorer. Pertama, pemetaan kebutuhan ASN di kementerian dan lembaga, termasuk di pemerintah daerah. Ini untuk memastikan penghapusan tenaga honorer tak mengurangi produktivitas pelayanan penyelenggara pemerintahan kepada publik.
Kedua, pemetaan tenaga honorer yang memenuhi kualifikasi persyaratan administratif, baik sebagai calon PNS maupun PPPK, sembari menyiapkan kebijakan afirmatif bagi tenaga honorer. Pemetaan ini penting untuk tahu apakah pos yang tersedia masuk kategori strategis atau tidak.
Ketiga, perekrutan ASN baru, baik dengan skema PNS maupun PPPK, harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Jika skenario penghapusan tenaga honorer ditunda, pemerintah dapat mengubah Pasal 99 Ayat (1) PP No 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sembari menyiapkan secara matang peta jalan penghapusan tenaga honorer.
Artikel ini tayang di Harian Kompas, Selasa (19/7/2022)