Presiden Jokowi semestinya secara etik meminta pertimbangan sejumlah lembaga negara yang otoritatif tentang jejak rekam para calon menteri khususnya mengenai integritas para calon menteri. Calon pembantu presiden harus dipastikan sosok yang tidak tersandera oleh persoalan masa lalunya.
Pertimbangan dari KPK dan PPATK dapat dijadikan bahan rujukan bagi Presiden dalam memilih calon pembantunya terkait dengan integritas calon menteri apakah terindikasi terlibat dalam kasus korupsi atau pencucian uang atau tidak. Di kadar yang sama, Presiden juga dapat meminta bahan dari BNPT terkait jejak rekam kandidat menteri apakah calon menteri terpapar paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila atau tidak. Termasuk Presiden juga dapat meminta bahan dari BNN apakah calon menteri memiliki riwayat penyalahgunaan narkotika atau tidak.
Meminta pertimbangan dari lembaga-lembaga negara terkait jejak rekam semestinya dapat dijadikan tradisi yang baik untuk memastikan calon pembantu Presiden bersih lahir dan batin. Kendati tidak ada atribusi yang konkret bagi Presiden untuk meminta pertimbangan terhadap lembaga-lembaga tersebut, namun secara normatif, keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lembaga KPK, PPATK, BNPT dan BNN merupakan bentuk perlawanan negara terhadap tindak kejahatan korupsi, pencucian uang, terorisme dan narkotika. Dengan demikian, sudah seharusnya Presiden memastikan para calon pembantunya bersih dari berbagai persoalan yang menjadi musuh negara itu.
Meski perlu dicatat, permintaan pertimbangan terhadap sejumlah lembaga negara tersebut bukan dalam rangka mereduksi hak prerogatif yang dimiliki eksklusif Presiden. Permintaan pertimbangan itu juga baiknya tidak dijadikan festival yang ujungnya menimbulkan kegaduhan publik.
Substansi permintaan pertimbangan atau bahan dari lembaga-lembaga tersebut semata-mata untuk memastikan para pembantu presiden bersih lahir dan batin dan ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan sistem presidensial. Karena bersih tidaknya para pembantu Presiden sangat ditentukan oleh pilihan Presiden dalam memilih para pembantunya, bukan oleh pihak yang lainnya.
FERDIAN ANDI
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Dosen di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya