Analisa

DPD Harus Inovatif

Oleh R Ferdian Andi R
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 1 Oktober genap berusia 14 tahun. Lembaga tinggi negara ini lahir dari rahim refomasi melalui proses amendemen konstitusi tahap ketiga sebagaimana tertuang di Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Sayangnya, kedudukan dan kewenangan lembaga ini serbatanggung dan tak bergigi. Satu sisi sebagai main organ dalam pengawasan. Di sisi lain sebagai auxiliary agency dalam legislasi.

Alih-alih menjadi lembaga senat layaknya di negara-negara yang menganut sistem parlementer dengan dua kamar (bicameralism), tak sedikit pihak menyebut kerja DPD tak ubahnya seperti non goverment organization (NGO) pelat merah. DPD rasa LSM. Bahkan, tak jarang suara NGO lebih nyaring ketimbang DPD dalam menjawab persoalan daerah.

Situasi demikian tidak terlepas dari konstruksi politik hukum DPD yang memang cukup terbatas dari sisi kewenangan dan fungsi. Ini bukan berarti DPD tak ada usaha untuk menaikkan kelas terkait kedudukan dan kewenangan dalam lembaga parlemen.

Sejumlah ikhtiar dilakukan melalui mekanisme hard power seperti mendorong amendemen konstitusi yang membahas kedudukan dan kewenangan DPD. Ide amendemen kelima bukanlah baru, telah lama disuarakan, bahkan sejak periode DPD sebelumnya.

Upaya tersebut diharapkan dapat menempatkan DPD sesuai dengan khitahnya, sebagai lembaga perwakilan bagi masyarakat daerah. Sayang, ide ini tak banyak mendapat respons konkret dari pemangku kepentingan karena tidak ada momentum dan iktikad baik.

Langkah lainnya yang juga kerap dilakukan DPD melakukan pelurusan konstitusional melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU yang dianggap makin melemahkan posisi dan wewenang DPD. Langkah ini masuk kategori soft power.

Seperti dalam MK 79/PUU-XII/2014 yang merupakan putusan atas uji materi UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam putusan tersebut, MK mempertegas kewenangan DPD dalam keterlibatan pembahasan RUU. Kemudian, naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan daerah otonomi baru, pengelolaan sumber daya alam, serta kemandirian pengelolaan keuangan DPD.

Realitas konstitusional DPD ini harus segera dicarikan jalan keluar. Cara paling mungkin dengan menguatkan susunan dan kedudukannya melalui amendemen konstitusi. Upaya tersebut semata-mata untuk memastikan kelembagaan yang merepresentasikan daerah ini dapat dirasakan manfaatnya.

Hanya, upaya tersebut tidak mudah. Setidaknya momentum Pemilu 2019 tidaklah mungkin dilakukan proses amendemen konstitusi. Maka jalan yang dapat ditempuh DPD berbagai inovasi dan kreasi dalam koridor konstitusional agar keberadaan DPD dapat dirasakan daerah.

Tampil

DPD sejatinya merupakan kanal agar persoalan-persoalan daerah dapat diakomodasi dalam kepentingan nasional. DPD secara praksis kelembagaan sebagai penghubung antara kepentingan pusat dan daerah. Kewenangannya mengonfirmasi hal tersebut.

Persoalan yang muncul di daerah baik urusan sumber daya manusia (SDM) maupun alam (SDA), semestinya dapat dijangkau DPD. Upaya ini untuk menghadirkan manfaat DPD bagi daerah. Sejumlah persoalan daerah yang menyita perhatian publik semestinya DPD tampil di depan untuk turut serta mencarikan solusi. Sayang, dalam sejumlah persoalan, DPD tak memberi solusi.

Persoalan daerah seperti banyak lahir aktor baru korupsi, tak terselesaikan dengan adanya DPD. Praktik koruptif DPRD bersama eksekutif daerah menjadi tren. DPD semestinya mampu menawarkan peta jalan keluar atas persoalan tersebut.

Situasi ini sejalan dengan karut marut persoalan legislasi yang terjadi antara daerah dan pusat yang kerap mengakibatkan disharmoni peraturan perundang-undangan. Langkah DPD dengan membentuk alat kelengkapan baru seperti Panitia Urusan Legislasi Daerah (PULD) dapat dijadikan role model respons atas persoalan daerah. Keberadaan lembaga ini dituntut kreatif dan mampu menjadi jembatan bagi daerah dan pusat dalam persoalan legislasi daerah.

Persoalan pengelolaan SDA yang juga krusial di daerah khususnya terkait isu pembangunan berkelanjutan juga kurang direspons DPD. Bencana Lombok, NTB, pada awal Agustus serta Palu dan Donggala Sulawesi Tengah akhir September, semestinya DPD menjadi lembaga tinggi negara yang mampu menjadi penghubung berbagai stakeholders daerah maupun pusat. Mereka bersama-sama bergerak cepat mengatasi dampak bencana.

DPD semestinya terdepan merespons dan menjadi bagian solusi atas persoalan daerah. Fakta konstitusional kewenangan DPD yang minimalis ini bukan berarti menjadi penghalang berbuat lebih maksimal. DPD harus tampil dengan karakter dinamis, responsif, dan inovatif. Ini terutama dalam merespons persoalan-persoalan daerah baik berjangka pendek maupun panjang. Posisi DPD sebagai main constitusional organ yang sederajat DPR semestinya dapat berbuat lebih banyak untuk daerah.

Posisi konstitusional yang dimiliki DPD ini semestinya dapat dijadikan modal sebagai daya pengungkit atas hambatan dan persoalan daerah untuk mempercepat pembangunan. Sayangnya, DPD dalam beberapa waktu terakhir justru sibuk urusan internal dan pimpinan. Pemilu 2019 harus dijadikan momentum perubahan DPD. Ini bisa dimulai dengan memilih figur-figur yang mengerti dan paham secara filosofis akan DPD. Ke depan para wakil daerah jangan lagi disibukkan urusan politik praktis lantaran memiliki dua wajah. Satu sebagai aktivis partai politik dan satu lagi menjadi wakil daerah.

DPD semestinya bukanlah kerja sambilan, melainkan konstitusional yang dipertanggungjawabankan di hadapan rakyat daerah. Upaya ini semata-mata untuk mengukuhkan DPD sebagai lembaga wakil daerah yang memiliki tugas menguatkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, Edisi Rabu, 10 Oktober 2018)

Click to comment

Most Popular

To Top