Analisa

Lemahnya Politik Hukum Jokowi

Ferdian Andi (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum, Dosen FH

Satu bulan menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo di periode pertama, carut marut persoalan legislasi meletup di publik. Sejumlah produk legislasi mendapat protes keras dari publik. Demonstrasi mahasiswa, pelajar serta masyarakat sipil selama beberapa pekan terakhir ini muncul di sejumlah kota di Indonesia. Pemerintah dan DPR, sebagai lembaga negara penanggung jawab urusan legislasi tampak gagap dalam merespons protes publik tersebut.

Kegaduhan publik terhadap sejumlah produk legislasi ini tak bisa dilepaskan dari tidak solidnya politik hukum di era Jokowi. Ketidaksolidan itu mudah diidentifikasi. Di antaranya perencanaan legislasi yang dadakan, untuk tidak menyebut selundupan. Kondisi itu semakin lengkap dengan situasi relasi DPR dan Presiden yang belakangan tidak menampakkan sisi check and balances layaknya hubungan legislatif dan eksekutif.

Dalam konteks tersebut, politik hukum menjadi kunci arah perjalanan pengelolaan negara demokrasi konstitusional di bidang hukum. Kebijakan negara untuk mengganti produk hukum (undang-undang) lama atau membentuk hukum (undang-undang) baru di berbagai sektor semestinya dimaksudkan untuk tujuan bernegara. Carut marut belakangan ini juga disebabkan rapuhnya politik hukum pemerintahan Jokowi.

Merujuk mekanisme konstitusional penyusunan legislasi di Indonesia, tanggung jawab politik hukum berada di pundak dua lembaga yakni DPR (Pasal 20 ayat ) UUD 1945) dan Presiden (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945). Khusus urusan politik hukum tentang persoalan daerah, DPR dan Presiden mendapat masukan dari DPD (Pasal 22D ayat 1 UUD 1945).

Bahkan dalam kondisi tertentu, Presiden memiliki peran penting dalam politik hukum guna merespons suatu keadaan tertentu melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Meski, pada akhirnya harus tetap mendapat persetujuan dari DPR.

Pola relasi dalam desain konstitusional politik hukum ini mengondisikan terjadinya proses check and balances DPR terhadap Presiden. Di sisi lain mekanisme ini meneguhkan prinsip dasar dalam negara hukum yakni setiap aturan harus mendapat persetujuan rakyat baik secara langsung berupa undang-undang (UU) maupun tidak langsung berupa produk peraturan perundang-undangan sebagai imbas dari delegasi maupun atribusi dari UU.

Reformasi Legislasi

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menegaskan urgensi reformasi legislasi. Sorotan terhadap over regulasi juga kerap disampaikan Presiden. Puncaknya, saat debat calo presiden dalam Pemilu 2019 lalu, Jokowi menyampaikan gagasan dibutuhkannya Pusat Legislasi Nasional sebagai komitmen melakukan reformasi legislasi.

Sayangnya, berbagai gagasan mengenai reformasi legislasi selama lima tahun terakhir ini hanya dimaknai pada urusan deregulasi an sich. Pemerintah melakukan pembatalan terhadap peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah yang dinilai tidak ramah terhadap investasi.

Namun masalahnya, secara substansial pembenahan sistem di pembentukan legislasi dan regulasi jauh panggang dari api. Sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi ini tidak ada inovasi hukum secara signifikan dalam konteks pembenahan sistem legislasi dan regulasi. Dalam tataran kerja legislasi, Presiden dan DPR tampak bekerja as usual bussiness, tidak ada yang istimewa dalam agenda reformasi legislasi.

Bahkan di akhir masa jabatan di periode 2014-2019, Presiden dan DPR membuat program legislasi yang memancing protes publik. Presiden dan DPR bahkan patut diduga menabrak sejumlah aturan dalam pembahasan undang-undang khususnya saat membahas perubahan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Sejumlah prinsip dasar dalam pembahasan pembentukan peraturan perundang-undangan seperti asas keterbukaan serta syarat pelibatan partisipasi masyarakat tak dijalankan dengan baik. Akibatnya, cacat formil membayangi UU KPK hasil perubahan ini.

Selain itu, rencana pengesahan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan juga urung dilakukan. Protes publik atas sejumlah materi di dua RUU tersebut menjadi salah satu pemicunya. Polemik dua rancangan produk legislasi ini tak bisa dilepaskan dari minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pembahasan RUU.

Pesan penting dari karut marut pembahasan UU di penghujung masa jabatan ini tak bisa dilepaskan dari lemahnya politik hukum pemerintahan Jokowi. Dalam praktiknya politik hukum pemerintahan Jokowi tidak selaras dengan praktik di lapangan. Cita hukum berjarak dengan realitas norma yang dibuat.

Seperti dalam kasus UU KPK, di satu sisi saat kampanye melalui Nawacita, Jokowi berkomitmen memperkuat KPK, namun sebaliknya perubahan UU KPK justru memuat ketentuan norma yang secara nyata mempersempit ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi.

Carut marut perubahan UU KPK, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan serta RUU lainnya yang memancing reaksi publik semestinya menjadi pelajaran berharga bagi Jokowi untuk menyongsong periode kedua yang dimulai pada 20 Oktober 2019 mendatang. Reformasi legislasi harus diwujudkan melalui pembentukan sistem perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan undang-undang.

Dikonkretkan

Komitmen reformasi legislasi Presiden Jokowi selama lima tahun terakhir ini semestinya dapat dikonkretkan di periode pemerintahan 2019-2024. Komitmen tidak ada lagi beban politik dalam memerintah selama lima tahun mendatang, dapat diwujudkan salah satunya di bidang reformasi legislasi.

Apalagi, dalam perubahan UU No 12 Tahun 2011 telah diakomodasi rencana Presiden Jokowi yang membentuk lembaga khusus terkait legislasi nasional dengan penambahan nomenklatur “Kepala Lembaga di Bidang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” sebagaimana tertuang di Pasal 26 ayat (1).

Lembaga baru yang mengurusi bidang legislasi di level eksekutif itu semestinya menjadi harapan baru dalam urusan legislasi. Persoalan koordinasi antarlembaga yang selama ini menjadi masalah krusial, dengan “penyatuatapan” lembaga-lembaga pemerintahan di urusan legislasi diharapkan tak bakal muncul lagi.

Selain itu, tunggakan pekerjaan rumah pemerintah di bidang legislasi sebagai konsekuensi dari atribusian maupun delegasian oleh UU, dengan keberadaan lembaga ini diharapkan tak lagi muncul.

Lebih dari itu, secara substansial lembaga baru ini harus menjadi laboratorium urusan legislasi nasional untuk dapat memetakan, menyisir, merencanakan serta menindaklanjuti atas persoalan di bidang legislasi khususnya di level eksekutif. Target besarnya, lembaga ini dapat membentuk sistem yang ajek di bidang legislasi nasional baik di tingkat daerah hingga tingkat pusat.

Pembentukan sistem ini menjadi tujuan utama agar persoalan-persoalan yang selama ini muncul di bidang legislasi dapat diatasi dengan baik secara komprehensif, kesinambungan, dan berorientasi jangka panjang.

Meski sejak awal harus disadari, lembaga baru di bidang legislasi ini akan selalu berhadapan dan berhimpitan dengan dinamika politik yang selalu dinamis. Di situasi seperti itu akan relatif dapat diatasi bila sistem legislasi berjalan kukuh, ajek, akuntabel, dan transparan.

Presiden Jokowi harus memetik hikmah dari carut marut legislasi di pengujung periode pertama masa jabatannya sebagai presiden ini. Lembaga baru di bidang legislasi harus menjadi manifestasi dari pelajaran berharga dalam penyusunan sejumlah UU yang telah menguras energi publik di beberapa hari terakhir ini.

Tulisan ini tayang di Detik.Com, Senin (7/10/2019)
Foto: Detik.com

Click to comment

Most Popular

To Top