Analisa

Banjir, Relasi Pusat-Daerah dan Sistem Presidensial

Ferdian Andi
Dosen Hukum Tata Negara di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya/
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)

BANJIR di Jakarta, Banten dan Jawa Barat awal tahun ini menimbulkan riak soal relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Lempar tanggungjawab dan bantah membantah muncul di ruang publik. Situasi tersebut diperparah dengan kontestasi antar-buzzer di ruang media sosial yang diwujudkan melalui adu tanda pagar (tagar) atau hastag.

Secara kasat mata, adu tagar tersebut memunculkan dua kelompok yang saling berhadap-hadapan yakni pro Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Pro Presiden Jokowi yang di dalamnya ada pendukung Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta.

Kendati demikian, kabar baiknya hiruk pikuk di media sosial itu tidak sampai merembet ke dunia nyata. Di lapangan masyarakat tampak menampilkan sisi yang berbeda. Masyarakat gotong royong dan saling bahu-membahu menolong mereka yang menjadi korban banjir di Jakarta dan sekitarnya.

Sisi lain yang tersisa dari banjir Jakarta, Banten dan Jawa Barat ini pada akhirnya membawa pada diskursus tentang kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Persoalan relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini tampak mengemuka dalam persoalan penanganan banjir di Jakarta ini.

Di samping itu, persoalan banjir dan penanggulangan bencana di Indonesia pada akhirnya memiliki relevansi dengan pernyataan Presiden Jokowi pada tahun 2014 lalu yang belakangan kembali populer, mengenai persoalan Jakarta seperti banjir dan macet akan mudah dibereskan jika dirinya menjadi Presiden. Di poin ini, pernyataan Jokowi tahun 2014 lalu itu memberi pesan kuat mengenai sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia.

Otonomi di Negara Kesatuan
Persoalan banjir yang terjadi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat awal tahun ini pada akhirnya menyentuh pada persoalan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hiruk pikuk banjir yang terjadi di sejumlah daerah menimbulkan pertanyaan; apa kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan apa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah.

Di dalam konstitusi, pengaturan mengenai pemerintah daerah diatur sedemikian rupa. Terlebih paska amandemen konstitusi, daerah diberi kewenangan otonomi seluas-luasnya. Konstitusi juga memberi ruang bagi daerah yang memiliki kekhususan, tak terkecuali bagi masyarakat adat. Paska amandemen, konstitusi memberi landasan baru bagi hubungan pusat dan daerah. Landasan baru itu diwujudkan dengan sistem pemerintahan yang mulanya sentralisasi menjadi desentralisasi.

Namun di sisi yang lain, di dalam konstitusi secara tegas juga disebutkan mengenai bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang bentuknya republik (Pasal 1 ayat 1). Bahkan, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, satu-satunya hal yang tidak dapat dijadikan obyek amandemen konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945. Belakangan, jargon heroik kerap didengar di ruang publik seperti “NKRI Harga Mati”.

Pesan penting dari UUD 1945 terkait hal tersebut tak lain adalah penerapan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah tetap dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Konsekwensinya, pemerintah pusat memiliki kendali terhadap pemerintah daerah. Hal itu pula ditegaskan dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa pemerintah daerah tak lain merupakan wakil pemerintah pusat.

Konstruksi ini diwujudkan di berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah tidak berjalan sendiri, di tarikan nafas yang sama pemerintah pusat tidak melepas sepenuhnya penyelenggaraan pemerintah daerah. Sejumlah asas penting dalam penyelenggaraan pemerintah daerah seperti otonomi daerah, desentralsiasi, dekosentrasi serta tugas pembantuan mengonfirmasi tentang relasi yang erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Maka bila disimak di sejumlah peraturan perundang-undangan yang tersedia, termasuk dalam urusan kebencanaan, terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara pemerintah pusat dan pemeirnta daerah. Seerti pemerintah pusat dapat mengalokasikan bantuan dari APBN jika daerah tidak sanggup dalam penanganan bencana (Pasal 286 ayat (1) UU No 23/2014).

Begitu juga dalam urusan pengelolaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan seperti tata ruang, sumber daya alam, transportasi, lingkungan hidup dan lain-lain, harus mengoordinasikan dengan pemerintah pusat dan daerah-daerah lainnya. (Pasal 26 ayat (5) UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah DKI). Dengan kata lain, Pemprov DKI Jakarta, kendati memiliki kekhususuan pun, tetap harus mengoordinasikan dengan pemerintah pusat dan daerah lainnya, tidak bisa berjalan sendiri.

Adapun terkait dengan polemik yang sempat mencuat di ruang publik soal normalisasi atau naturalisasi antara pemerintah pusat dan daerah, hakikatnya pemerintah pusat memiliki kewenangan pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintah daerah. Sayangnya, perdebatan yang mencuat di publik saat banjir menerjang Jakarta dan sekitarnya, tampak pemerintah pusat tidak melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan kepada pemerintah daerah dengan optimal.

Padahal pemerintah pusat melalui menteri dapat melakukan pengawasan dan pembinaan baik dalam urusan teknis maupun urusan umum kepada pemerintah provinsi. Hal ini secara terang telah diatur dalam Pasal 3 PP No 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Sistem Presidensial
Penerapan otonomi daerah dalam bingkai negara kesatuan menemukan konteksnya dengan sistem presidensialisme yang dianut dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Hal ini pula yang menggenapi pernyataan Presiden Jokowi pada Tahun 2014 menjelang Pemilu Presiden 2014 yang menyebutkan akan lebih mudah mengatasi banjir dan kemacetan di Jakarta jika menjadi Presiden.

Pernyataan tersebut hakikanya sebagai bentuk penegasan sistem presidensialisme yang diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia (presidential system) dimana jabatan sistem pemerintahan terpusat pada jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of goverment) dan sebagai kepala negara (head of state).

Dalam konteks penanganan banjir dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, Presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan memiliki peran dan andil yang cukup dominan untuk membereskan persoalan yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.

Kekuasaan Presiden baik di bidang pemerintahan maupun di bidang perundang-undangan dapat dijadikan alat bagi presiden untuk membereskan berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini. Khususnya, persoalan banjir yang terjadi di Ibukota Negara Indonesia. Semestinya atas dasar kewenangan yang dimiliki Presiden dapat dengan mudah menyelesaikan persoalan pelik di Ibukota dan sekitarnya.

Sayangnya, dengan kewenangan yang dimiliki Presiden, jabatan periode pertama 2014-2019 lalu, tidak tampak kebijakan yang diterbitkan Presiden untuk memastikan tidak ada lagi banjir yang menimpa Jakarta dan sekitarnya. Alih-alih, pembantu Presiden justru melancarkan saling lempar tanggungjawab dengan pemerintah daerah.

Kendati demikian, meski tampak terlambat, langkah Presiden mengumpulkan sejumlah kepala daerah seperti Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat dan sejumlah kepala daerah penyangga ibukota Jakarta merupakan langkah yang tepat. Pertemuan dan koordinasi harus ditindaklanjuti dengan penerbitan kebijakan yang konkret. Setidaknya, kebijakan konkret untuk penanggulangan banjir di Jakarta dan sekitarnya itu sebagai wujud nyata implementasi sistem pemerintahan presidensial. Presiden sebagai komandan dalam gerak pemerintahan di Indonesia.

[credit foto: internet]

Click to comment

Most Popular

To Top