Ferdian Andi
(Pengajar di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya/
Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 pada 1 Oktober 2019 lalu resmi dilantik untuk periode lima tahun ke depan. DPR periode ini merupakan generasi kelima sepanjang pemilu di era reformasi ini.
Komposisi keanggotan DPR periode 2019-2024 ini secara umum tidak ada yang berbeda dengan periode sebelumnya. Hanya saja, jumlah anggota DPR periode ini jumlahnya bertambah 15 dibanding sebelumnya. Saat ini total anggota DPR RI sebanyak 575 orang.
Selain itu, bila sebelumnya terdapat 10 fraksi, Pemilu 2019 lalu menghasilkan 9 fraksi. Partai Hanura yang sebelumnya berada di parlemen, pada Pemilu 2019 lalu partai ini gagal memenuhi syarat batas ambang keterwakilan parlemen (electoral threshold) sebesar 4%.
Profil anggota DPR yang terpilih juga tidak jauh berbeda dengan DPR sebelumnya. Setidaknya mayoritas anggota DPR terpilih merupakan anggota DPR periode 2014-2019 sebanyak 298 orang atau setara dengan 50,26%. Keterwakilan perempuan di keangotaan DPR baru ini sebanyak 118 orang, atau meningkat sebesar 21% dibanding periode sebelumnya. Sedangkan anggota DPR yang berusia di bawah 30 tahun sebanyak 10 orang. Serta anggota DPR yang berlatar belakang selebriti/pesohor sebanyak 16 orang.
Dari berbagai komposisi yang terdapat di DPR 2019-2024 ini, sejatinya dari sisi profiling anggota DPR tidak jauh berbeda dengan DPR sebelumnya. Tidak ada hal yang mencolok dari wajah yang mengisi pos di legislatif untuk lima tahun mendatang. Lalu apa yang diharapkan dari wajah DPR periode 2019-2024 ini?
Beban DPR Lama
Momentum pelantikan anggpta DPR Periode 2019-2024 ini yang berlangsung tak jauh dari demontrasi mahassiwa di pekan keempat September lalu menjadi beban bagi DPR periode 2019-2024.
Memori ingatan publik masih lekat dengan aksi yang telah memakan korban jiwa sebanyak dua orang dari mahasiswa, ratusan orang terdampak demontrasi seperti luka dan paparan gas air mata serta kerusakan sejumlah fasilitas umum dan kendaraan di sekitar lokasi demonstrasi baik di sekitar DPR Senayan, Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya.
Peninggalan polemik mengenai perubahan UU KPK, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU PKS, serta sejumlah RUU lainnya yang menyita perhatian publik belakangan ini secara langsung maupun tidak langsung bakal membayangi DPR periode 2019-2024.
Apalagi, hasil perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tertuang di Pasal 71A hasil perubahan disebutkan jika pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) oleh DPR peridoe lama, maka atas kesepakatan DPR, Presiden dan atau DPD , RUU tersebut dapat dimasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik jangka menengah maupun jangka panjang. Dengan kata lain, bola panas polemik sejumlah RUU di akhir periode DPR 2014-2019 ini bakal membayangi DPR periode 2019-2024.
Polemik yang muncul di jelang berakhir DPR periode 2014-2019 ini semakin menebalkan persepsi publik atas citra DPR yang dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat. Upaya DPR periode 2014-2019 mendaulat diri sebagai parlemen modern tak terkonfirmasi dengan sejumlah produk legislasi yang banyak mendapat sorotan publik.
Seperti UU KPK yang dibahas super kilat dan diduga menabrak sejumlah ketentuan pembuatan perundang-undangan juga potensial cacat formil. Artinya, DPR dan Pemerintah dalam pembahasan perubahan UU KPK mengindahkan prosedur pembuatan undang-undang. Prosedur pembuatan undang-undang merupakan hal yang mendasar dalam pembuatan sebuah undang-undang.
Beban DPR periode sebelumnya ini akan menganggu ruang gerak DPR periode 2019-2024. Butuh komitmen yang kuat dari DPR baru untuk meyakinkan publik agar percaya atas kerja yang akan dilakukan selama lima tahun ke depan.
Reformasi Parlemen
Salah satu cara untuk meyakinkan publik atas wajah parlemen tak lain dengan melakukan reformasi di internalnya. Meski, di atas kertas, infrastruktur yang dimiliki parlemen melalui sistem pendukung (supporting system) parlemen telah memadai. Sebut saja keberadaan Badan Keahlian Dewan (BKD).
Sayangnya, sistem pendukung yang dimiliki parlemen kerapnya dikalahkan dengan kalkulasi politik berjangka pendek yang lebih dominan dalam pengambilan keputusan di parlemen. Sebut saja soal polemik perubahan UU KPK yang super kilat itu.
Belum lagi kasus korupsi yang menjerat anggota DPR. Seperti DPR periode 2014-2019 lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat hingga April 2019 lalu sebanyak 22 anggota DPR yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi di KPK. Angka tersebut beratmbah 1 orang, seiring ditetapkannya anggota DPR dari Komisi VI terkait kasus suap impor bawang pada Agustus 2019 lalu.
Pada akhirnya reformasi parlemen sangat ditentukan oleh reformasi di partai politik. Fraksi di DPR yang merupakan kepanjangtangaan partai politik tak lain merupakan pelaksana kebijakan pimpinan partai politik. Dengan kata lain, hitam putihnya parlemen tak bisa dipisahkan dari wajah partai politik.
Sejumlah persoalan yang lekat dengan DPR seperti soal kasus korupsi dan produktivitas kerja parlemen termasuk yang esensial proses chek and balances atas kinerja eksekutif, harus dijawab oleh partai politik dengan membuat peta reformasi di internal partai politik. Ini penting karena secara determinan akan berimbas pada perubahan di parlemen.
Sayangnya, momentum untuk mengubah wajah partai politik melalui instrumen kongres atau muktamar partai tak kunjung hadir. Persoalan krusial di partai politik seperti pendanaan partai politik, sirkulasi kepemimpinan hingga tudingan oligarki di tubuh partai politik tak direspons secara aktif oleh partai politik.
Forum tertinggi di partai politik belum bisa menjadi ajang perubahan mendasar melalui perubahan konstitusi partai yakni perubahan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik yang kondusif bagi demokratisasi dan reformasi di internal partai.
Dengan kata lain, selama partai politik belum mereformasi dirinya, maka wajah parlemen setali tiga uang dengan wajah partai politik di Indonesia. Harapan publik tentang perbaikan produktivitas kerja serta nihilnya anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi sulit terpenuhi. Harapan itu ibarat menggantang asap, hanya khayalan semata.
[Foto: Anisah Ulfah/Internet]