Analisa

Sirkulasi Elit Tersumbat di Pimpinan Parlemen

Ferdian Andi
(Peneliti Pusat Kajiam Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Jaya)

Pengisian pos pimpinan DPR-MPR telah dirampungkan. Ini menandai mulai efektifnya DPR-MPR Periode 2019-2024 yang bakal disusul dengan pengisian pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD).

Bila melihat profil sejumlah pimpinan DPR dan MPR periode 2019-2024 diisi oleh wajah lama baik yang pernah mengisi jabatan serupa maupun jabatan di ekskeutif. Dapat disebut wajah pimpinan DPR-MPR menunjukkan sirkulasi kepemimpinan di partai politik di Indonesia tersumbat. Karena terdapat sejumlah wajah lama mengisi pos pimpinan dua lembaga negara tersebut.

Figur seperti Abdul Muhaimin Iskandar yang saat ini mengisi posisi Wakil Ketua DPR periode 2019-2024. Muhaimin sebelumnya telah dua periode mengisi pos ini yakni pada periode 1999-2004 dan periode 2004-2009. Bahkan, di periode 2014-2019, ia juga menjadi Wakil Ketua MPR, kendati baru diisi sejak 2018 lalu sebagai konsekwensi penambahan kursi Wakil Ketua MPR imbas perubahan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Begitu juga profil sejumlah pimpinan MPR. Nama-nama lama seperti Zuklifli Hasan (PAN) dan Hidayat Nurwahid (PKS) kembali mengisi pos pimpinan MPR. Seperti figur Zulkifli, yang saat ini menjabat Wakil Ketua MPR, posisi ini merupakan kali kedua sebagai pimpinan MPR. Sebelumnya Zulkfili menjadi Ketua MPR periode 2014-2019. Di era Presiden SBY periode 2009-2014, Zulkifli menjabat Menteri Kehutanan.

Sedangkan figur Hidayat Nurwahid yang saat ini kembali menduduki posisi Wakil Ketua MPR, posisi pimpinan MPR ini merupakan kali ketiga bagi Hidayat Nurwahid. Sebelumnya, di periode 2004-2009 Hidayat Nurwahid pernah menjabat Ketua MPR. Dilanjutkan periode 2014-2019 sebagai Wakil Ketua MPR.

Rekrutmen Jabatan Publik
Pengisian jabatan publik di parlemen, tak terkecuali pimpinan eksekutif di level daerah (kepala daerah) hingga pusat (Presiden) secara konstitusional memang menjadi hak eksklusif partai politik. Pengisian jabatan publik tersebut melalui mekanisme political elected.

Pengisian jabatan publik di tiga cabang kekuasaan mulai eksekutif, legislatif hingga yudikatif tak bisa dilepaskan dari peran partai politik. Khusus dalam konteks lembaga yudikatif, peran partai politik yang diwakili parlemen memiliki kewenangan hak konfirmasi atau persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY).

Kondisi tersebut mengukuhkan partai politik berfungsi sebagai sarana untuk melakukan rekrutmen politik (political recruitment) (Yves Meny & Andrew Knap, 1998). Dalam konteks ini, partai politik menjadi laboratarium sekaligus sekolah yang cukup penting bagi calon pejabat publik untuk pengisian lembaga-lembaga publik di berbagai cabang kekuasaan yang tersedia.

Masalahnya, fungsi yang dimiliki partai politik tersebut ketika disandingkan dengan kondisi obyektif partai politik di Indonesia menjadi paradoksal. Partai politik di Indonesia saat ini masih didominasi oleh praktik personalisasi partai politik. Partai politik dipersonalisasi sebagai kekuasaan personal ketua umum partai politik. Pemicunya tak lain disebabkan karena belum terlembaganya partai politik. Padahal, bila institusionalisasi partai politik membaik, maka secara determinan praktik deperzonalitation akan muncul di internal partai politik. (Jimly Asshiddiqie, 2006).

Situasi personalisasi partai politik yang dilekatkan pada figur pimpinan partai politik tampak terkonfirmasi dalam rekrutmen jabatan politik di Indonesia. Proses meryt system yang seharusnya menjadi indikator penentuan pengisian jabatan publik tak tampak muncul. Publik tak mengetahui apa ukuran penentuan pengisian jabatan publik oleh partai politik. Alih-alih meminta pendapat para pemilihnya, proses penentuan jabatan publik oleh partai politik dilakukan serba samar dan abu-abu.

Seperti fenomena figur baru yang berkiprah di partai politik namun tak membutuhkan waktu lama dapat mengisi jabatan publik strategis. Bahkan di titik ekstrem, fenomena ketua umum partai politik menunjuk dirinya sendiri untuk mengisi jabatan publik sebagai representasi partai politik.

Kondisi ini pula yang tampak dalam pengisian jabatan pimpinan DPR-MPR periode 2019-2024 ini. Bagaimana partai politik dapat menjelaskan kepada publik ihwal penunjukan figur yang telah menduduki pos tersebut bahkan hingga tiga kali lamanya? Bagaimana partai politik dapat menyampaikan argumentasi ke publik atas penunjukan ketua umum partainya untuk mengisi jabatan publik tersebut? Apa paramater yang digunakan dalam penunjukan tersebut?

Fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen jabatan publik dalam titik ini pada akhirnya tereduksi oleh kepentingan elit partai politik. Di saat bersamaan, wajah partai politik kita masih belum mampu melembagakan dirinya dengan baik. Karena pelembagaan partai politik tereduksi oleh praktik personalisasi yang berujung politik feodal. Di sinilah titik masalah krusial partai politik di Indonesia.

Spirit Konstitusi
Dalam pengisian jabatan publik oleh partai politik semestinya dapat mengambil spirit konstitusi terkait pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode. Hal itu pula tidka bisa dilepaskan dari semangat reformasi 1998 yang secara kuat memberi pesan kuat tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden melalui Tap MPR No XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama konstitusi.

Sayangnya, pesan kuat konstitusi tersebut tak ditransformasikan dengan baik oleh partai politik dalam pengisian jabatan publik. Partai politik secara vulgar membelakangi semangat konstitusi dengan menunjuk pejabat partai politik untuk mengisi pos jabatan publik hingga lebih dari dua periode.

Meski partai politik memiliki dalih, bahwa karakter jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa dianalogikan dengan jabatan publik lainnya seperti pimpinan parlemen. Argumentasi tersebut dapat dibantah. Karena sejatinya dalam perdebatan pembahasan amandemen pertama konstitusi yang mencuat bukan soal karakter cabang kekuasaan yang dimaksud, namun soal sirkulasi elit agar dapat terwujud dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Situasi ini pula semestinya dapat diterapkan dalam penunjukan pengisian jabatan publik termasuk pengisian pimpinan parlemen. Makna pentingnya, ada proses pergiliran pengisian jabatan publik yang berbasis meryt system, Namun yang terjadi sebaliknya, partai politik menunjuk figur lama yang lebih dari dua periode mengisi jabatan publik tersebut. Langkah ini memberi kesan ketiadaan figur lain di internal partai politik dalam pengisian jabatan tersebut.

Bila ditarik lebih jauh lagi, titik soal atas masalah ini tak lain disebabkan ketiadaan aturan pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik di Indonesia maksimal dua periode. Seharusnya, partai politik mengambil spirit konstitusi pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Spirit ini semestinya ditransformasi dengan baik oleh partai politik baik dalam pengisian jabatan ketua umum partai politik maupun jabatan publik baik di lembaga ekskeutif maupun di pimpinan legislatif. Dengan cara demikian, akan terjadi sirkulasi elit yang akan menyehatkan demokrasi di internal partai.

Masalah lainnya, praktik rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan publik. Praktik ini dianggap biasa dan lumarah, lantaran tidak ada ketentuan hukum yang melaranganya. Padahal semestinya partai politik dapat memberi contoh etik dengan melarang rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan publik.

Click to comment

Most Popular

To Top