Ferdian Andi
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Komitmen pemerintahan Presiden Jokowi untuk menghadirkan model peraturan perundang-undangan yang berkarakteristik omnibus law dibuktikan dengan penyerahan draft RUU Cipta Kerja ke DPR pada Rabu (12/2/2020) pekan lalu. Masih ada tiga RUU yang berkarakteristik omnibus law yakni RUU Ibukota Negara, RUU Kefarmasian, dan RUU Perpajakan.
Salah satu argumentasi yang kerap melatari munculnya penyusunan peraturan perundnag-undangan omnibus law ini sebagai upaya untuk merampingkan regulasi, menghapus aturan yang menghambat dan memperumit birokrasi dan ujungnya memudahkan proses pembangunan dan mempermudah investasi. Ide omnibus law ini pada akhirnya menjadi puncak dari gagasan reformasi legislasi yang sejak periode lalu disuarakan Presiden Jokowi.
Sayangnya, gagasan reformasi di bidang legislasi yang disuarakan pemerintahan Jokowi ini tidak dilakukan secara sistemik. Setidkanya, tidak ada blue print yang kukuh untuk mengkonkretkan gagasan ini. Alih-alih menghadirkan road map perubahan di bidang penyusunan peraturan perundang-undangan, namun justru setiap gagasan melahirkan komplikasi masalah.
Sebut saja, rencana pembentukan Pusat Legislasi Nasional yang hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya, persoalan di bidang legislasi eksekutif yang kunjung diurai hingga persoalan rencana penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkarakteristik ombinus law ini.
Jika rencana reformasi legislasi ini tidak diletakkan dalam perspektif negara demokrasi konstitusional, tentu akan menjadi masalah serius di kemudian hari. Jika tak hati-hati dan cermat, rencana reformasi legislasi ini justru melahirkan persoalan ketatanegaraan dan politik yang tidak sederhana di kemudian hari.
Pelajaran berharga yang semestinya dapat dipetik pemerintahan Jokowi periode lalu saat penyusunan sejumlah undang-undang (UU) yang justru memancing kontroversi di tengah publik. Bahkan, UU yang baru seumur jagung telah diuji materi dan formil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebut saja UU No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tertutupnya ruang partisipasi publik dan rendahnya akses publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan hanya akan menjadi bara dalam sekam di kemudian hari.
Pengabaian Teknis Penyusunan
Persoalan elementer yang muncul dari rencana pembahasan RUU yag berkarakteristik omnibus law ini tak lain soal ketiadaan landasan yuridis. UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengatur secara teknis penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkarakter omnibus law ini.
Seperti secara teknis bagaimana pencabutan dan perubahan sejumlah norma yang terkandung di undang-undang lainnya yang dilakukan oleh UU yang berkarakter omnibus law ini? Padahal secara rigid dan teknis, perubahan atau pencabutan sebuah UU tetap menggunakan judul undang-undang yang sama.
Dalam lampiran UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 dalam Bab I huruf 6 disebutkan “Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah”. Ketentuan ini secara pasti akan diindahkan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkarakter omnibus law.
Dalam draft RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan oleh Pemerintah ke DPR, model perubahan ketentuan dalam norma tak ubahnya menduplikasi konsep perubahan UU serupa. Meski dalam kenyataannya, perubahan yang terkandung dalam UU yang berkarakter omnibus law ini menggunakan judul UU baru yang berbeda dari norma yang terkandung dalam UU yang diubah . Di poin ini jelas akan mengabaikan kerangka penyusunan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU.
Masalah teknis penyusunan ini pada akhirnya dihadapkan pada substansi materi yang juga tak kalah menimbulkan persoalan serius. Draft RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah ke DPR pada kenyataanya secara substansial telah menimbulkan polemik di tengah publik.
Persoalan elementer juga mengemuka seperti di Bab XIII mengenai Ketentuan Lain di Pasal 170 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa perubahan UU diubah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP). Ketentuan ini secara meyakinkan menabrak prinsip dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yakni teori stufentheorie atau teori hirarki peraturan perundang-undangan. Bagaimana mungkin peraturan yang lebih rendah dapat menghapus peraturan yang lebih tinggi?
Sengakrut penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkarakter omnibus law ini sebaiknya direspons secara bijak oleh pemerintah dan DPR. Menyiapkan landasan hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkarakter omnibus law ini merupakan keniscayaan yang harus segera dilakukan. Utama dari itu semua, pelibatan seluruh stakeholder dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan UU ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. DPR dan Pemerintah (law maker) harus belajar dari polemik penyusunan peraturan perundang-undangan di periode DPR lalu.
*Tayang di Koran Jawa Pos, Selasa (18/3/2020)/Ilustrasi: baliexpress.jawapos.com