Analisa

Sengkarut Perasuransian dan Penguatan Pengawasan OJK

Ferdian Andi
Pengajar Hukum Tata Negara di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya/
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)

Persoalan keuangan yang melilit lembaga perasuransian Jiwasraya pada akhirnya menyeret Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pusaran polemik yang menimpa perusahaan asuransi pelat merah itu. Maklum saja, salah satu tugas pokok OJK yakni melakukan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, di antaranya terhadap perasuransian.

Gugatan termasuk kritik terhadap OJK merupakan hal yang lumrah dalam konteks pengawasan terhadap lembaga yang keberadaanya merujuk pada UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di poin yang lain, kasus Jiwasraya ini menjadi catatan penting bagi industri perasuriansian di Indonesia di waktu-waktu mendatang.

Dalam konteks ini, stakeholder yang terkait dengan perasruansian dapat mengurai tiga isu penting yakni mengenai pengelolaan perasuransian, pengawasan perasuransian serta bagaimana sisi proteksi terhadap nasabah asuransi. Langkah tersebut sebagai ikhtiar untuk memastikan terjadi langkah-langkah perubahan agar masalah serupa tidak terjadi kembali di kemudian hari.

Sejumlah persoalan yang terjadi di jasa keuangan mulai soal teknologi finansial, investasi bodong, hingga karut marut persoalan perasuransian tentu ada masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Dalam penyelesaian masalahnya tidak satu sisi saja. Ada kompleksitas masalah yang harus diselesaikan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

Langkah perbaikan harus senantiasa dilakukan. Langkah ini lebih konstruktif ketimbang mengusung gagasan yang cenderung emosional dan keluar dari spirit perbaikan seperti gagasan membubarkan OJK dengan mengembalikan kewenangannya ke Bank Indonesia (BI) merupakan langkah mundur dan keluar dari spirit konstitusi. Alih-alih industri jasa keuangan mengalami perbaikan, yang terjadi justru terjadi langkah mundur jauh ke belakang.

Hakikatnya, eksistensi OJK sebagai lembaga pengawas yang terpisah dari Bank Sentral merupakan bentuk konkret dari demokratisasi di lembaga jasa keuangan di Indonesia dengan mewujudkan sistem cheks and balances di sektor ini. Apa jadinya, jika kewenangan pengawasan melekat pada satu lembaga seperti di Bank Sentral seperti era sebelumnya.

Perbaikan bukan Pembubaran
Guagatan atas Keberadaan OJK tidak kali ini saja terjadi. Sebelumnya pada tahun 2015, UU OJK menjadi obyek uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan MK nomor 25/PUU-XII/2014 menegaskan posisi konstitusionalitas OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan.

Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2019 lalu. Melalui putusan MK nomor 102/PUU-XVI/2018, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK sebagaimana tertuang di Pasal 49, 50 dan 51 juga dinilai oleh mahkamah merupakan kewenangan yang konstitusional.

Poin penting dari sejumlah gugatan konstitusional atas keberadaan OJK dan sejumlah ketentuan yang tertuang di UU No 21 tahun 2011 tentang OJK menegaskan dan mengukuhkan posisi lembaga ini yang dinilai tidak menyimpang dari konstitusi alias konstitusional. Poin inilah yang semestinya didudukkan dalam melihat persoalan yang belakangan terjadi di industri perasuransian yang dikaitkan dengan eksistensi OJK.

Dalam konteks tersebut, memperbaiki sejumlah ketentuan di UU OJK, khususnya terkait dengan operasionalisasi kewenangan pengawasan oleh OJK terhadap industri jasa keuangan jauh lebih kontekstual daripada mendorong gagasan ekstrem misalnya pembubaran OJK. Karena jika melihat sejumlah ketentuan yang tertuang dalam UU OJK, pengawasan yang dimiliki OJK cukup kuat terhadap jasa keuangan di Indonesia.

Pengawasan OJK terhadap jasa keuangan tak terkecuali di sektor perasuransian harus menampilkan wajah yang tegas dan mandiri. Karena pada prinsipnya, pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap sektor jasa keuangan sifatnya pengawasan eksternal. Oleh karenanya, prinsip kepastian hukum (principal legal security) yang tertuang dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), harus menjadi pedoman bagi OJK dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam hal pengawasan.

Lebih dari itu, OJK, sebagaimana juga tertuang dalam UU OJK, pengawasan juga harus memiliki aspek preventif dan represif. Pengawasan yang siftanya pre audit dan post audit dalam praktik jasa keuangan secara inherent terwujud dalam kewenangan yang dimiliki OJK.

Utama dari hal itu semua tak lain adalah penegakan aturan main oleh OJK yang merupakan prinsip dasar yang tak bisa ditawar. Karena pada dasarnya, dalam tarikan nafas yang sama melekat dalam kewenangan yang dimiliki OJK ini, terdapat aspek penting yakni aspek perlindungan konsumen. OJK sebagai representasi negara harus memastikan setiap warga negara mendapat perlindungan tak terkecuali di sektor jasa keuangan ini.

Perbaikan Hulu Hingga Hilir
Karut marut industri perasuransian harus dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan dari hulu hingga hilir. Pembentukan sistem yang ajeg di industri perasuransian yang direpresnetasikan melalui UU No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian semestinya dilakukan secara komprehensif, tidak cicilan dan parsial.

Seperti gagasan pembentukan Lembaga Penjamin Polis yang belakangan disuarakan pemerintah sebagai respons atas persoalan di industrui asuransi, tampak menunjukkan ketidakbergegasan pelaksana UU untuk menjalankan perintah UU Perasuransian.

Padahal, jika merujuk Pasal 53 UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, keberadaan Lembaga Penjamin Polis (LPP) harus diwujudkan paling lama tiga tahun sejak UU perasuransian diundangkan. Artinya paling lambat keberadaan LPP yang diatur melalui UU itu maksimal pada tahun 2017 lalu. Dalam konteks ini, DPR dan Pemerintah abai melaksanakan pendelegasian UU mengenai keberadaan LPP.

Akibatnya, setelah kasus Jiwasraya mencuat ke publik pemerintah tampak gamang dalam penyelesaian persoalan yang terjadi di industri perasuransian. LPP yang merupakan instrumen penting dalam aspek perlindungan nasabah asuransi hingga saat ini belum tersedia payung hukumnya.

Atas kondisi tersebut, semestinya pemerintah melihat urgensi keberdaan LPP ini dapat menjadi alasan penerbitan Peratruan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberi paramater mengenai “kegentingan memaksa” sebagai alasan konstitusional bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu di antaranya karena terjadinya kekosongan hukum. Nyatanya, saat ini payung hukum mengenai LPP belum tersedia.

Dalam konteks ini, karut marut yang terjadi di sektor perasuransian yang belakangan mencuat ini membutuhkan komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk menghadirkan industri yang sehat dan memastikan aspek perlindungan terhadap masyarakat. Kalangan industri, pemerintah, DPR, OJK serta pemangku kepentingan lainnya dituntut untuk memastikan kebutuhan perangkat perundang-undangan dan komitmen penegakan aturan harus diwujudkan secara serius. Setidaknya hal ini merupakan ikhtiar yang komprehensif untuk menghadirkan industi perasuransian yang sehat.

Di atas semua itu, kasus yang melilit Jiwasaraya yang kini telah masuk proses hukum harus dilakukan secara fair, transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, yang tak kalah penting, seluruh nasabah harus dipastikan menerima seluruh haknya. Seluruh pihak harus mengambil pelajaran penting dari karut marut yang terjadi di industri perasuransian ini.

*Artikel ini tayang di Koran Bisnis Indonesia dengan judul “Urgensi Lembaga Penjamin Polis” edisi Sabtu, 15 Februari 2020
Foto: republika.co.id

Click to comment

Most Popular

To Top