Oleh: Ferdian Andi (Direktur Eksekutif Puskapkum/Pengajar HTN-HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
DUA puluh lima tahun reformasi tak cukup melahirkan sikap keteladanan para elite. Amandemen konstitusi, perubahan sistem politik, serta perubahan tata kelola pemerintahan tak menjadikan ruang publik secara otomatis berada di jalur yang tepat. Penyimpangan dalam bentuk pelanggaran hukum dan etik di ranah publik secara demonstratif mudah dijumpai.
Publik disuguhi tontonan elite penyelenggara negara maupun elite lainnya yang jauh menjadi tuntunan. Pelaku kekuasaan kehakiman justru terjerat kasus hukum dan etik. Pelaku kekuasaan eksekutif di level menteri dan wakil menteri hingga pimpinan daerah juga tak luput dalam pusaran korupsi. Di lembaga penegak hukum, pimpinan KPK juga terjerat dalam dugaan kasus suap. Pelbagai peristiwa itu terjadi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Ironi dan anomali. Proses Pemilu 2024 tak sedikit menampilkan ragam inkonsistensi sikap dan pernyataan dari para aktor politik.
Revolusi mental yang digulirkan pemerintahan ini sejak periode pertama pada 2016 yang tertuang melalui Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental tak secara signifikan memberi jejak keteladanan dari elite di ruang publik. Padahal, gerakan yang berisi lima hal tersebut (Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu) memiliki nilai yang baik. Namun sayangnya, peristiwa yang terjadi belakangan ini justru kontradiksi dengan gerakan yang dimaksud.
Kepemimpinan Demokratis
Keteladanan elite sejatinya kompatibel dengan sistem demokrasi yang meniscayakan keseimbangan antara negara dan warga negara. Tindakan dan keputusan negara semata-mata didasari atas restu rakyat melalui instrumen demokratis-partisipatif seperti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan maupun dalam pembentukan kebijakan publik.
Peran kepemimpinan dalam negara demokratis memiliki andil penting dalam menciptakan nilai di ruang publik. Sanghan Choi (2007) menyebutkan, bentuk kepemimpinan yang demokratis berciri pengorbanan, keberanian, simbolisme, partisipasi, dan visi. Nilai yang dilahirkan dari kepemimpinan demokratis ini berdampak pada akuntabilitas pejabat publik.
Kepemimpinan demokratis secara linier akan menghadirkan kepemimpinan yang memberi keteladanan bagi publik. James M. Kouzes & Barry Z. Posner (2013) menyebutkan, terdapat lima praktik kepemimpinan yang memberi keteladanan. Yakni mencontohkan caranya (model the way), menginspirasi visi bersama (inspire a shared vision), proses yang menantang (challenge the process), memungkinkan orang lain bertindak (enable others to act), serta menyemangati jiwa (encourage the heart).
Sayangnya, sejumlah peristiwa yang belakangan ini muncul justru tampak memunggungi model kepemimpinan yang demokratis. Konversi urusan publik menjadi urusan privat dan sebaliknya urusan privat menjadi urusan publik mengakibatkan kepemimpinan model otokrasi berpotensi muncul. Kepemimpinan model ini mendorong praktik otoriter, direktif, menghukum, berorientasi pada tugas, persuasif, dan tertutup. Meski pemimpin model otokrat kerap dipuji karena kemampuan mengembangkan pengikut yang setia dan menjadi figur otoritatif dalam memelihara dan membangun ketertiban (Bernard M. Bass & Ruth Bass, 2009).
Dalam konteks ini, tak ada pilihan lain selain mengembangkan dan mendorong terciptanya kepemimpinan yang demokratis di pelbagai cabang kekuasaan negara dengan menjadikan etika dan hukum sebagai pijakannya. Ruang partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan negara mesti dilakukan. Konsekuensinya, kritik dari publik dilihat sebagai manifestasi keterlibatan publik dalam pengelolaan penyelenggaraan negara menjadi lebih baik.
Menemukan Keteladanan
Keteladanan elite memiliki makna penting bagi pengelolaan penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Tata kelola pemerintahan yang baik memiliki prinsip mendasar seperti partisipasi, supremasi hukum, transparansi, responsif, konsensus, efektif, akuntabel, dan visi strategis.
Penyelenggaraan negara yang baik akan bermanfaat dalam pembentukan karakter generasi berikutnya. Pemimpin yang menginspirasi dan menggerakkan hal-hal yang baik akan menjadi role model bagi publik, khususnya bagi generasi muda.
Namun sebaliknya, bila ruang publik diisi tindakan tercela yang jauh dari keteladanan, justru akan mendelegitimasi institusi publik. Bahkan, pada titik ekstrem, tindakan yang keluar dari etika dan hukum justru menginspirasi generasi berikutnya dengan menjadikannya sebagai standar ideal yang harus dilakukan. Situasi yang harus dihindari dan dicegah bersama-sama.
Pemilu sejatinya menjadi instrumen konstitusional untuk menemukan keteladanan di ruang publik. Pemilu dapat dimaknai sebagai ajang kontestasi keteladanan yang dimanifestasikan melalui adu gagasan dan rekam jejak melalui forum perdebatan, diskusi, dan udar gagasan. Pemilu yang jujur dan adil menjadi pintu masuk lahirnya keteladanan di ruang publik.
Institusi demokrasi yang tecermin melalui cabang-cabang kekuasaan negara harus merepresentasikan keteladanan publik yang dimulai dari cara mendapatkan kekuasaan dengan baik, pengelolaan kekuasaan dengan transparan dan akuntabel, serta pertanggungjawaban kekuasaan di hadapan publik. Semua tahapan tersebut menjadi modal penting untuk melahirkan keteladanan bagi publik.
Penyelenggara negara yang bertindak atas dasar etika dan hukum, maka dengan sendirinya, keteladanan akan lahir dari model kepemimpinan yang otentik itu. Hal yang sama bila aktor politik bertindak selaras antara ucapan dan perbuatan, maka akan melahirkan politisi yang merepresentasikan gagasan dan pikiran publik (representation in ideas) bila kelak menjadi pejabat publik. Baik di eksekutif maupun di legislatif.
Kepemimpinan teladan hakikatnya berorientasi pada kebaikan bagi banyak orang. Sebagaimana disebutkan Perdana Menteri Kanada Jean Chrétien (periode 1993–2003), di Toronto Star 7 Juni 1984, bahwa leadership means making people feel good. Kebaikan publik dalam konteks bernegara terefleksikan melalui konstitusi. Singkatnya, untuk menemukan keteladanan elite, pilihannya tak lain dengan mengelola negara dengan berpedoman pada etika dan hukum, bukan yang lain. [*]
Artikel ini tayang di Koran Jawa Pos, Edisi Selasa (30 Januari 2024)