JAKARTA, – Resmi sudah revisi terhadap UU No 29 Tahun 2007 menjadi usul inisiatif DPR. Kendati masih bakal melalui proses pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah, materi muatan yang terdapat dalam draf RUU menimbulkan polemik. Seperti soal penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh presiden. Sontak saja rancangan aturan tersebut menimbulkan kontra di publik.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi berpandangan substansi materi yang menjadi polemik soal penunjukan dan pengangkatan Gubernur DKI oleh presiden dengan memperhatikan usulan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Baginya, wacana tersebut mesti ditempatkan dalam perdebatan dan percakapan di ruang publik yang terbuka dan transparan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya pemangku kepentingan. Menurutnya, presiden dan DPR mestinya belajar dari pembentukan sejumlah UU yang sebelumnya memicu polemik di tengah publik.
Dia menilai, jabatan kepala daerah tidak termasuk dalam kategori ‘political appointed’, tapi ‘political elected’. Karenanya yang memilih jabatan kepala daerah bukanlah presiden, tetapi rakyat secara luas. Karenanya, rancangan aturan yang menunjuk dan mengangkat pejabat kepala daerah, khususnya Gubernur Daerah Khusus Jakarta oleh presiden tidaklah beralasan.
“Tidak ada ‘rasio legis’ atas penunjukan Gubernur Daerah Khusus Jakarta oleh presiden baik dalam perspektif otonomi daerah maupun perspektif demokrasi,” ujarnya saat berbincang dengan Hukumonline, Jumat (7/12/2023).
Pria yang juga dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu berpandangan, kekhususan Jakarta bukan berarti menjadi dasar untuk mengubah format pemilihan menjadi penunjukan dalam pengisian jabatan Gubernur. Menurutnya, kekhususan Jakarta mestinya menjadi etalase demokasi Indonesia di mata dunia, bukan malah sebaliknya.
“Belajar dari negara-negara lain, kota bekas ibukota negara justru makin mengukuhkan praktik demokrasinya,” ujarnya.
Terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin mengkritik keras ketentuan penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh presiden dalam draf RUU Provinsi Daerak Khusus Jakarta. Menurutnya, mekanisme penunjukan dan pemberhentian gubernur Jakarta oleh Presiden menyalahi prinsip demokrasi dan otonomi daerah. Apalagi Jakarta bukanlah kota baru yang didesain khusus untuk kawasan bisnis dan industri.
“Jakarta memiliki sejarah panjang sebagai ibukota negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar di antara kota-kota besar dunia. Jangan sampai RUU Daerah Khusus Jakarta justru meniadakan hak politik masyarakat Jakarta dalam memilih pemimpinnya di daerah,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Dia meminta DPR dan pemerintah tidak mengabaikan keberadaan jutaan masyarakat Jakarta saat ini. Masyarakat tentu memiliki kepentingan untuk menentukan siapa Gubernur yang menurut mereka layak memimpin Jakarta selanjutnya. Bagi Sultan lebih demokratis Gubernur dipilih dengan mekanisme tidak langsung melalui DPRD ketimbang penunjukan dan pengangkatan oleh presiden. “Penunjukan gubernur oleh presiden dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan sosial akibat ketidakpuasan publik di Jakarta,” ujarnya.
Senator asal Bengkulu itu menilai, bila pejabat gubernur dipilih presiden kecenderungan bertindak politis sesuai kehendak presiden dan oligarki. Dia menyarankan agar demokrasi tumbuh bersama pesatnya kemajuan Jakarta sebagai kota bisnis global di masa depan.
Konsekuensi UU IKN
Terlepas itu, Ferdian menilai RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta menjadi konsekuensi dari berlakunya UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Dalam Pasal 41 ayat (2) UU 3/2022 menyebutkan, “Paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, UU No.29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.
Dengan kata lain, sejak 15 Februari 2022, UU 29/2007 mesti diubah. Dengan begitu, pada 15 Februari 2024, dasar hukum tentang DKI Jakarta tak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang berarti UU Provinsi Daerah Khusus Jakarta harus berlaku per 15 Februari 2024.
Sayangnya, RUU Daerah Khusus Jakarta baru masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023 pada sidang paripurna 3 Oktober 2023 lalu dan draf RUU DKJ baru muncul ke publik di awal Desember ini. Bisa dibayangkan bagaimana ruang partisipasi publik dalam perencanaan dan pembahasan RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta. “Padahal saat ini DPR reses yang dimulai pada 6 Desember 2023 dan berakhir pada 15 Januari 2024,” katanya.
Ferdian menilai, konsekuensi pendeknya masa pembahasan RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta ini tentu berdampak pada kualitas UU yang dihasilkan. Isu penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni ‘meaningfull participation’ (partisipasi bermakna) yang berarti pendapat publik didengar, dipertimbangkan dan publik berhak mendapatkan penjelasan/jawaban atas pendapatnya. “Harus dipastikan menjadi landasan dalam pembahasan RUU DKJ ini oleh DPR dan Presiden,” pungkasnya. [*]
Sumber: hukumonline.com