Oleh: R Ferdian Andi R (Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum)
Judul Buku : Politik Hukum Pencegahan dan Penanggulangan Judicial Corruption Lembaga Peradilan
Penulis : Aulia Rahman, S.H, M.H.
Halaman : xiii + 121
Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2017
Persoalan korupsi di lembaga peradilan (judicial corruption) setali tiga uang dengan korupsi di lembaga-lembaga lainnya seperti di eksekutif dan legislatif. Maka tak jarang ada yang menyebutnya fenomena demikian dengan sebutan “trias corruptica” yang merupakan plesetan trias politica yang menggambarkan konsepsi negara menurut Montesquieu. Meski dalam perkembangannya, suburnya praktik korupsi juga disumbang peran swasta yang berkolaborasi dengan salah satu ketiga lembaga tersebut.
Buku hasil penelitian dosen Fakultas Hukum Universitas Islam OKI (Uniski), Kayuagung Sumatera Selatan ini, kendati dari sisi halaman cukup tipis untuk ukuran buku serius, namun dari sisi substansi yang dibahas, buku ini cukup padat. Sejumlah konsep teori hukum dihadirkan untuk memperkuat hasil temuan dalam penelitian pustaka dan lapangan ini.
Buku yang terdiri dari lima bab ini, diawali dengan penyebutan sejumlah kerangka teori yang terletak di Bab II. Di bab ini sejumlah teori yang muncul seperti teori negara hukum, teoris pemisahan kekuasaan, teori sistem hukum, teori lembaga negara, teori kewenangan. Di samping juga menyinggung juga soal asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Membaca kerangka teori yang dihadirkan, penulis tampak inigin menitiktekankan kajian dengan perspektif hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Terdapat dua lembaga negara yang mendapat porsi besar dalam penelitian ini yakni Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena memang obyek kajian ini yakni terhadap lembaga peradilan. Bila merujuk konstitusi, lembaga Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga yang menaungi lembaga peradilan di Indonesia.
Dalam buku ini, penulis juga menghadirkan pasang surut relasi MA dan KY. Termasuk sejumlah putusan penting yang memiliki implikasi terhadap eksistensi kewenangan KY ini seperti putusan Mahkamah Kontitusi (MK) No 005/PUU-IV/2006 yang isinya KY tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengawasi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Penulis dalam buku yang berwarna merah dan putih ini juga menekankan pada kajian fakta hukum dan fakta non hukum terkait dengan keberadaan lembaga KY. Fakta hukum yang dimaksud terkait dengan basis legal kelembagaan KY mulai yang tertuang dalam konstitusi, UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Peradilan Umum, termasuk UU tentang Peradilan Agama. Sejumlah regulasi tersebut, merupkan wujud dari politik hukum pencegahan dan penanggulangan judicial corruption di lembaga peradilan.
Sedangkan fakta non hukum yang dimaksud penulis di antaranya KY memiliki keinginan kuat untuk optimalisasi fungsi pencegahan korupsi di lembaga peradilan yang diwujudkan dengan melakukan pelatihan sosialisasi dan peningkatan kapasitas hakim. KY juga cukup responsif terhadap pemberitaan media massa tentang peradilan. Dalam hal pengawasan dan pemantauan, KY hanya bisa merekomendasi terkait dengan sanksi kepada hakim yang diduga melanggar kode etik, putusan final berada di MA.
Sejumlah persoalan yang diungkap penulis terkait judicial corrpution itu, terdapat tawaran jalan keluar yang tertuang di Bab V. Beberapa tawaran solutif yang disampaikan penulis yakni mendoorng KY menjadi lembaga triger mechansim. Dalam perspektif penulis, KY menjadi lembaga penghubung antara lenbaga peradilan dan pemeirntah maupun parlemen.KY juga didorong menjadi lembaga yang berfungsi dalam hal manajemen lembaga peradilan termasuk fungsi penganggaran di lembaga peradilan.
Di bagian lain penulis juga mendorong adanya perubahan UU No 18 Tahun 2011 khususnya di Pasal 13 dan Pasal 20. Dalam pandangan penulis, untuk mencegah dan menanggulangi judicial corruption tidak hanya sekadar memantau dan mengawasi perilaku hakim, tetapi juga melalui mekanisme penguatan independensi lembaga peradilan yang transparan, efisien, resposnif dan akuntabel. (hal. 113).
Perubahan UU KY tersebut, menurut penulis juga juga harus diikuti dengan perubahan regulasi dengan melakukan penambahan ketentuan seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, UU Peradilan Tata Usaha Negara serta UU Peradilan Agama.
Tawaran yang dikemukakan penulis dalam buku sejatinya merupakan implementasi dari gagasan shared responsibility (pembagian tanggungjawab) antara tugas yudisial dan tugas non yudisial. MA bertugas mengurus ihwal yudisial, sedangkan KY mengurus bab tentang non yudisial. Ide tersebut juga tertuang dalam draft RUU Jabatan Hakim yang saat ini masih digodog oleh DPR.
Buku ini layak dimiliki oleh para pembentuk UU yakni DPR dan pemerintah, hakim, peneliti termasuk kalangan akademisi di bidang hukum. Terlebih belakangan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pihak di lingkungan lembaga peradilan seperti hakim, panitera termasuk pegawai, mengonfirmasi betapa akutnya persoalan ini. Buku ini menjadi salah satu tawaran konkret untuk menyudahi malapraktik tersebut.