FERDIAN ANDI (Direktur Eksekutif Puskapkum/Pengajar HTN di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
KABAR kematian dengan cara bunuh diri yang dipicu frustrasi atas tagihan pinjaman online (pinjol) bermunculan di tengah masyarakat. Beberapa peristiwa muncul dari pelosok daerah seperti di Jember (20/8), Bojonegoro (23/8) dan Wonogiri (2/10). Peristiwa memilukan ini menambah daftar panjang persoalan yang muncul akibat praktik industri teknlogi finansial (financial technology) di Indonesia.
Sengkarut praktik pinjol di Indonesia ini ditandai mulai soal aksi penagih utang (debt collector)yang kerap menebar ancaman yang tak beradab, bunga yang melangit, hingga persoalan penyalahgunaan data pribadi. Di titik ini, pinjol bermetamorfosa menjadi lintah daring yang mengerikan bagi para peminjam (borrower).
Meski demikian, bila membuka data dari OJK performa pinjol cukup baik. Seperti data hingga akhir Juni lalu, penyaluran kredit ke masyarakat telah menembus angka Rp 221,56 triliun yang disalurkan kepada 64,81 juta peminjam. Akses publik terhadap pembiayaan melalui teknologi finansial ini jauh semakin mudah. Proses transaksi semakin sederhana antara peminjam dan pemberi pinjaman (lender).
Namun sayangnya, pelbagai persoalan pinjol yang mengemuka di publik menjadikan pltaform keuangan yang berbasis digital ini menjadi sorotan. Apalagi, sejumlah kasus yang mencuat menjadikan platform teknologi finansial dinilai justru meresahkan publik. Di titik ekstrem, di sejumlah kasus, menjadikan peminjam frustrasi dan memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Perbaikan Sistem
Keberadaan tekonologi finansial (tekfin) atau pinjol sejatinya untuk mempercepat inklusi keuangan di tengah-tengah masyarakat. Pinjol dalam praktiknya juga melakukan debirokratisasi dalam proses pembiayaan bagi masyarakat. Digitalisasi sektor keuangan dimaksudkan untuk memberi kemanfaatan bagi publik.
Namun, praktik yang menyimpang mudah dijumpai di pinjol. Bila diidentifikasi, persoalan dapat ditemukan dari hulu hingga hilir. Karena itu, dibutuhkan upaya kuat untuk membersihkan pinjol agar kembali kepada spirit awalnya yakni untuk memudahkan inklusi keuangan bagi masyarakat.
Pertama perbaikan dan penegakan regulasi (legal substance). Identifikasi sejumlah persoalan dalam praktik pinjol di antaranya mengenai besaran bunga dan denda dalam transaksi pinjol yang dinilai memberatkan konsumen.
Besaran bunga ini diatur dalam kode etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam kode etik asosiasi disebutkan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) tidak boleh melebihi suku bunga flat sebesar 0,8% setiap hari. Termasuk biaya keterlambatan (dalam bentuk denda atau lainnya) tidak boleh melebihi 0,8%.
Penentuan besaran bunga tersebut menjadi otoritas industri dan masuk dalam ruang hukum perdata antara peminjam dan pemberi pinjaman. Namun, melihat situasi dan kondisi ekonomi saat ini, besaran bunga dan biaya keterlambatan semestinya dapat ditinjau kembali.
Kedua, pengawasan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (legal structure). Aspek pengawasan dan penegakan hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam upaya perbaikan sistem dalam pinjol. Berbagai peraturan hukum termasuk code of conduct yang mengikat anggota asosiasi, tak memiliki makna apapun bila tidak terdapat pengawasan. Karena itu, penegakan etik harus simultan dengan penegakan aturan hukum.
Persoalan perilaku penagih utang (debt collector) juga kerap dikeluhkan peminjam. Cerita horor yang intimidatif sering dilekatkan dalam proses penagihan utang. Padahal dalam kode etik asosiasi, telah diatur larangan penggunaan kekerasan fisik maupun mental kepada peminjam, kerabat, rekan termasuk keluarganya.
Dalam konteks ini, regulator dan asosiasi harus memastikan praktik penagihan utang harus sesuai dengan kode etik. Keluhan para peminjam mengenai tindakan penagih utang dapat menjadi perhatian bagi regulator dan asosiasi untuk memastikan pengawasan di lapangan. Penyelenggara pinjol legal harus dipastikan tidak melakukan tindakan yang keluar dari kode etik apalagi hukum.
Ketiga, edukasi dan sosialisasi. Salah satu masalah yang muncul dari praktik pinjol ini, pengetahuan masyarakat tentang pinjol ini belum secara paripurna dipahami. Mulai soal kontrak perjanjian hingga membedakan mana pinjol legal atau ilegal. Dalam konteks ini, edukasi dan sosialisasi menjadi hal yang semestinya dilakukan oleh regulator, asosiasi dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Langkah ini akanmelahirkan budaya hukum (legal culture) yang baik dalam layanan pinjol di tengah masyarakat.
Pinjol Ilegal
Masalah utama dalam industri tekfin ini tak lain soal keberadaan penyelenggara pinjol ilegal. Mereka tidak terdaftar dan tidak mendapat izin dari OJK. Penyelenggara pinjol model ini bekerja tanpa mengikuti aturan main negara maupun aturan etik asosiasi. Kelompok ini tak lain merupakan pinjol predator. Tak ada pilihan lain dalam menghadapi penyelenggara pinjol ilegal selain dengan melakukan tindakan represif. Ini sebagai implementasi penegakan hukum (law enforcement).
Data yang dirilis oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) hingga pertengahan Juli 2021 lalu telah menutup pinjol ilegal sebanyak 3.365. Jika melihat data setiap tahun sejak 2018, keberadaan pinjol ilegal ini mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Seperti tahun 2018 sebanyak 404 pinjol ilegal, 2019 sebanyak 1.492 pinjol ilegal, 2020 sebanyak 1.026 pinjol ilegal), serta sebanyak 443 pinjol ilegal hingga tengah Juli kemarin.
Tindakan penutupan pinjol ilegal, harusnya diikuti dengan tindakan hukum yang tegas kepada penyelenggara pinjol jenis ini. Tindakan hukum yang tegas ini sebagai wujud komitmen negara untuk melindungi warga negara dan memberi efek jera terhadap para pelaku.
Langkah lainnya, penyediaan peraturan perundang-undangan yang kompatibel dengan industri teknologi finansial. Seperti RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tahun ini masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas mestinya dapat segera disahkan. Begitu juga, usulan RUU Teknologi Finansial (Tekfin) dapat menjadi masukan bagi law maker untuk menginiasi keberadaan beleid ini.
Perang terhadap pinjol predator ini semestinya menjadi percakapan dan isu bersama (common issue). Tak ada pilihan selain negara harus bertindak tegas kepada para aktor di balik pinjol predator ini. Saatnya perbaikan sistem dan tegakan hukum serta etik kepada para pelanggar aturan sebagai bentuk politik hukum pemerintah dalam pemberantasan pinjol predator.
*Artikel ini tayang di Jawa Pos, Selasa 6 Oktober 2021 (Gambar: Jawa Pos)