Oleh: R Ferdian Andi R (Direktur Eksekutif Puskapkum/Pengajar FH Universitas Bhayangkara Jakarta)
Sejumlah pekerjaan rumah pemerintah dalam penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) telah menjadi masalah serius dalam urusan legislasi eksekutif. Lambatnya penyusunan PP mengganggu efektivitas sebuah UU.
Sebut saja PP Jaminan Produk Halal (JPH) yang meleset dari target. Padahal berbagai norma turunan UU No 33 Tahun 2017 menjadi kunci pelaksanaan. Contoh lain PP sebagai penjabaran lebih detail pelaksanaan UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman juga tak kunjung diterbitkan. Bahkan, DPR melalui Panitia Kerja Perfilman, mendorong pemerintah segera menerbitkan PP mengenai perfilman. Tentu masih terdapat UU lain yang masih terkendala peraturan pelaksana ini.
Dalam konteks penerbitan PP, termasuk di dalamnya keputusan tata usaha negara (KTUN) yang berkarakter beschikking merupakan kewenangan legislasi eksekutif. Ini bersumber dari pendelegasian maupun kewenangan bebas. Ini merupakan bagian dari legislasi mandiri yang pembentukannya tanpa melibatkan legislatif.
Penjabaran mengenai pembagian struktur pembentuk norma hukum penting dikemukakan. Sebab belakangan, persoalan yang muncul di tengah masyarakat adalah kewenangan legislasi pemerintah kerap berjalan tidak maksimal. Legislasi yang bersumber dari kewenangan atribusi maupun delegasi sering lambat dieksekusi. Implikasinya, UU tak segera efektif.
Pasal 24–31 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya telah memberi panduan teknis bagi eksekutif dalam membuat PP dan Perpres, di antaranya pemerintah diharuskan membuat program perencanaan penyusunan PP maupun Perpres satu tahun melalui peraturan presiden.
Lebih detail lagi, melalui Perpres 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 12 Tahun 2011, diatur tata cara pembentukan rancangan PP serta rancangan Perpres. Hal serupa juga berlaku di lembaga atau komisi dalam merencanakan penyusunan peraturan perundangan-undangan dalam satu tahun.
Jika mencermati aturan main penyusunan PP maupun Perpres tersebut tidak jauh berbeda dalam progran legislasi nasional (prolegnas) DPR. Penyusunan PP dan Perpres dapat berjalan baik jika pemerintah konsisten menjalankan peraturan tersebut.
Semestinya, pemerintah melalui program pembentukan rancangan PP maupun Perpres dapat memetakan UU yang mendelegasikan pembentukan peraturan perundang-undangan yang mendesak baik dari sisi waktu maupun urgensi kegunaan. Pemetaan ini untuk memastikan pelaksanaan sebuah UU berjalan maksimal.
Terlalu Banyak
Peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector pembentukan PP maupun Perpres dapat menjadi juru kemudi mendinamisasi kementerian atau lembaga sebagai pemrakarsa rancangan PP maupun Perpres sesuai dengan bidangnya. Kelambanan kinerja legislasi eksekutif semestinya dicermati pemerintah.
Secara faktual, pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara justru banyak memproduksi peraturan perundang- undangan baik yang bersifat regeling (pengaturan) maupun beschikking (keputusan/ ketatapan). Di sini letak pradoksalnya. Lihat saja data Kementerian Hukum dan HAM, tahun 2016, sedikitnya ada 1.470 peraturan perundang- undangan berupa peraturan menteri dan lembaga nonkementerian. Terlalu banyak regulasi.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengeluhkan banyaknya regulasi karena memperlambat ruang gerak pemerintah. Maka, pemerintah belakangan menderegulasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Poin pentingnya, pemerintah dengan berbagai instrumen di setiap kementerian atau lembaga seperti melalui biro hukum dapat memetakan perencanaan pembentukan PP maupun Perpres prioritas satu tahun berjalan. Pengawasan atas perencanaan harus dilakukan sepanjang tahun tersebut.
Tak kalah penting, perlu analisis dampak penerapan peraturan perundang-undangan untuk memastikannya berdaya guna bagi masyarakat. Di sisi lain, upaya tersebut juga untuk mendekatkan peraturan perundang-undangan dengan kebutuhan masyarakat. Prinsip “hukum tumbuh bersama masyarakat” dapat terwadahi.
Selain itu, eksekutif dapat meletakkan sistem legislasi yang kukuh dengan berpegang teguh pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratruan Perundang-undangan. Kemudian, PP No 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 12 Tahun 2011 serta, khususnya bagi pemerintah daerah, juga berpegang pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengukuhan sistem legislasi menjadi kunci menghadirkan peraturan perundangundangan yang tidak terlalu banyak regulasi di satu sisi. Di sisi lain, produk legislasi yang dihasilkan eksekutif juga melibatkan publik. Ini bisa melalui instrumen konsultasi masyarakat sebagai amanat Pasal 188 PP No 87 Tahun 2014.
Dalam kasus molornya penerbitan PP JPH memberi ilustrasi yang baik tentang karut-marutnya legislasi eksekutif. Koordinasi antarkementerian tidak solid. Di sisi lain, suara publik yang muncul dari stakeholder yang sejatinya terwadahi dalam ruang konsultasi warga, juga tak kunjung tampak. Belajar dari persoalan ini, mendesak bagi pemerintah untuk segera meletakkan sistem legislasi yang kukuh dan solid berbasis peraturan perundang- undangan yang telah tersedia.
*artikel ini tayang di Koran Jakarta, edisi Jumat, 30 November 2018