Ferdian Andi
Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Pengajar Hukum Tata Negara di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Judul Buku : Memperkuat Komisi Yudisial dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan
Penulis : Dr. Farid Wajdi, S.H., M.Hum.
Penerbit : Setara Press
Cetakan : Pertama, April 2019
Tebal : xviii + 146
ISBN : 978-602-6344-74-8
Gagasan reformasi lembaga peradilan menjadi salah satu isu yang mengemuka seiring reformasi bergulir pada tahun 1998 silam. Proses amandemen konstitusi tahap ketiga pada tahun 2001 menjadi momentum penting bagi tonggak awal bergulirnya reformasi lembaga peradilan di Indonesia.
Salah satu hasil amandemen konstitusi tersebut di antaranya tentang penyatutapan kekuasaan kehakiman (the one roof system) serta lahirnya lembaga Komisi Yudisial (KY). Salah satu tugas konstitusional yang dimiliki KY yakni menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim. Karenanya, isu reformasi lembaga peradilan tak bisa dilepaskan dari keberadaan Komisi Yudisial (KY). Keduanya berjalin kelindan.
Buku yang didominasi warna biru ini mengingatkan kita semua tentang pesan konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945 terkait nilai filosofi keberadaan Komisi Yudisial (KY) dalam kedudukannya dalam struktur tata negara di Indonesia. Lebih dari itu, buku ini merupakan hasil refleksi dan kontemplasi yang mendalam dari penulisnya yang notabene salah satu aktor penting di Komisi Yudisial yakni sebagai Komisioner KY Periode 2015-2020. Di poin inilah menjadi salah satu kekuatan buku ini. Karena tidak sedikit buku serupa yang sebelumnya telah terbit. Namun cukup sedikit buku ditulis oleh aktor di internal KY.
Buku yang terdiri dari tiga bab ini diawali dengan pembahasan inti dari buku ini yakni tentang “Memperkuat Komisi Yudisial”. Di bab ini penulis secara lugas mengungkap tetang kondisi obyektif KY yang secara konstitusional telah lemah seiring sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti putusan No 43/PUU-XIII/2015 yang menyebutkan seleksi hakim di tingkat pertama di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara merupakan kewenangan tunggal Mahkamah Agung (MA).
Putusan tersebut membatalkan ketentuan yang sebelumnya tertuang dalam UU No 49/2009 tentang Peradilan Umum, UU No 50/2009 tentang Peradilan Agama dan UU No 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana disebutkan bahwa seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan secara bersama antara MA dan KY. Putusan ini, dalam pandangan penulis sama dengan putusan MK No 005/PUU-IV/2006 terkait dengan kewenangan pengawasan yang dimiliki KY yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Namun demikian, penulis tampak ingin membesarkan hati karena masih ada sejumlah ketentuan yang sejatinya memiliki sisi penguata KY. Penulis menyitir ketentuan yang tertuang di UU No 18/2011 tentang KY yang isinya KY dapat mengangkat penghubung dari daerah. Selain itu, di Pasal 20 ayat (3) UU No 18/2011, KY juga dapat meminta kepada penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan bila terdapat pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Aparat penegak hukum sifatnya wajib menindaklanjuti permintaan KY.
Di bagian lainnya masih di bab yang sama, penulis menitiktekankan kewenangan pengawasan yang dimiliki KY melalui tulisan “Urgensi Pengawasan Komisi Yudisial”. Kewenangan KY, sebagaimana tertuang di Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, yakni menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, menjadi batu pijak bagi lembaga ini untuk menjalankan fungsi cheks and balances terhadap lembaga peradilan. Dalam konteks ini posisi KY sebagai pengawas eksternal.
Penulis juga kembali menekankan pada fungsi dan peran KY melalui judul tulisan “Memperkuat Peran dan Fungsi Komisi Yudisial”. Sejumlah peraturan perundang-undangan disebutkan seperti UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang di dalamnya memuat sejumlah ketentuan tentang pengawasan yang dilakukan KY. Melalui UU tersebut muncul kewenangan baru KY yakni menetapkan kode etik dan atau pedoman perilaku hakim bersama-sama dengan MA serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan atau pedoman perilaku hakim.
Bab II di buku ini, penulis membahas mengenai isu independensi dan akuntabilitas lembaga peradilan. Di bab ini penulis menyinggung sejumlah peristiwa yang mencuat di publik yang terjadi di lingkungan lembaga peradilan seperti salah ketik yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) pada putusan uju materi Tata Tertib DPD RI.
Sedangkan di Bab III, penulis lebih banyak menyinggung soal sisi transendental dari profesi hakim dengan judul bab “Merawat Integritas Wakil Tuhan”. Sejumlah judul menyoroti sisi spritualitas yang dikaitkan dengan ruang publik Di bab ini, penulis tampak menampilkan latar belakangnya sebagai aktivis persyarikatan Muhammadiyah, salah satu ormas Islam di Indonesia.
Buku yang berjenis bunga rampai ini secara umum membawa pesan penting, sesuai dengan judulnya, tentang masih ada ruang bagi KY untuk melakukan penguatan. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang saat ini tersedia, masih memungkinkan bagi KY untuk melakukan kerja besar dalam reformasi lembaga peradilan.
Meski, tampak tak secara lugas, penulis ingin menyampaikan di situasi dan kondisi minimalis yang dimiliki KY, namun masih ada harapan dan peluang bagi KY untuk melakukan perubahan di lembaga peradilan di Indonesia.
Buku bunga rampai selalu memiliki riisko yang tidak kecil khususnya terkait dengan integrasi ide antar satu tulisan dengan tulisan lainnya yang dikemas dalam sebuah buku utuh. Kondisi itu pula yang dialami di buku setebal 146 halaman ini.
Gagasan besar yang diusung buku ini yakni tentang penguatan KY, namun ide tersebut hanya mencuat di bab pertama itu pun sifatnya artifisial. Ide itu tampak tak dijumpai secara kuat di bab-bab berikutnya. Di poin ini, posisi editor tampak tak berhasil menyambungkan narasi besar antar-tulisan dan antar-bab yang diusung di buku ini.
Belum lagi karakteristik tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini. Meski mayoritas buku ini berisi artikel lepas, namun keberadaan artikel yang berkarakter tulisan ilmiah seperti jurnal, menjadikan tulisan di buku ini tampak tak seragam. Pembaca yang mulanya membaca buku ini dengan santai, namun tetiba dipaksa mengerenyitkan dahi saat menbaca tulisan yang memiliki catatan kaki (footnote).
Buku dengan ide besar penguatan KY ini, idealnya berisi proposal penguatan lembaga KY yang diperuntukkan kepada para perumus undang-undang (UU) untuk menjadi bahan pertimbangan perubahan UU tentang KY. Buku ini semestinya tak ubahnya menjadi Naskah Akademik (N/A) untuk titik pijak bagi penguatan lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini. Kendati demikian, buku ini diharapkan menjadi pemantik untuk melahirkan buku berikutnya yang lebih tajam dan menukik dalam ide penguatan KY.
Buku ini menarik dimiliki oleh praktisi, akademisi, serta para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mewujudkan agenda besar republik ini yakni reformasi lembaga peradilan. Buku ini dapat menjadi pemantik bagi siapa saja yang membacanya. Setidaknya, bakal memunculkan ide-ide baru bagi penguatan KY.