Praktik koruptif di lembaga peradilan dalam kenyataanya masih terus berlangsung hingga saat ini. Tertangkap tangan sejumlah oknum di lingkungan lembaga peradlan mulai dari hakim, panitera dan pegawai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi tentang praktik tersebut.
Bukan tanpa upaya untuk menyudahi praktik tidak terpuji tersebut. Setidaknya sejak era reformasi bergulir, langkah penting telah dilakukan dengan melakukan amandemen konstitusi salah satunya terkait dengan kekuasaan kehakiman, keberadaan Komisi Yudisial (KY) hingga sejumlah perubahan regulasi di bidang peradilan yang diikhtiarkan untuk menghentikan praktik koruptif yang terjadi di lembaga tersebut.
Namun alih-alih lembaga peradilan menampilkan wajah yang reformis, dalam kenyataannya, praktik koruptif masih muncul ke permukaan. Terungkapnya sejumlah kasus yang melibatkan oknum di lingkungan peradilan menandakan ada persoalan serius yang belum teruraikan di internal lembaga peradilan.
Mengidealkan terbentuknya lembaga peradilan yang bersih dan reformis seperti mengidelakan terbentuknya sistem hukum. Untuk membentuk sistem hukum yang ideal dalam konteks membangun lembaga peradilan yang bersih dan reformis, dibutuhkan sejumlah prasyarat yang mutlak keberadaannya seperti dukungan regulasi yang ajeg, keberadaan aparat yang baik serta adanya budaya hukum yang mendukung.
Kerinduan publik akan hadirnya lembaga peradilan yang bersih dalam mencari keadilan harus direspons secara aktif oleh seluruh stakeholder untuk merumuskan sistem yang tepat untuk menyetop praktik koruptif di lembaga peradilan. Di sisi lain, sistem juga harus memastikan lembaga peradilan terjaga keluhuran dan kehormatannya. Oleh karenanya terdapat sejumlah hal yang harus dilakukan untuk menyetop praktik koruptif di lingkungan peradilan:
- Mendorong stakeholder di badan peradilan untuk membentuk sistem yang memastikan tidak ada lagi celah terjadinya praktik koruptif di lingkungan peradilan. Sistem yang memastikan kedudukan hakim dan seluruh perangkat di lembaga peradilan steril dari tangan-tangan jahat yang ingin menistakan lembaga peradilan.
- Mendorong adanya perubahan budaya yang mendasar di lingkungan peradilan untuk memastikan tidak ada lagi praktik koruptif. Langkah kultural ini penting untuk mengubah tradisi yang memungkinkan peluang praktik koruptif di lingkungan lembaga peradilan. Dalam konteks ini, peran Pimpinan MA cukup penting dalam memberikan keteladanan kultur kepada stakeholder di lingkungan peradilan.
- Mengapresiasi berbagai langkah Mahkamah Agung (MA) dalam melakukan upaya reformasi di internal. Meski demikian, berbagai upaya tersebut terbukti tidak efektif penerapannya di lapangan. Oleh karenanya, perumusan reformasi di internal lembaga peradilan didorong melibatkan seluruh stakeholder di lembaga peradilan. Masukan, gagasan dan aspirasi yang muncul di lingkungan lembaga peradilan harus ditangkap sebagai iktikad kuat dalam melakukan perubahan di internal lembaga peradilan. Setidaknya, solusi perubahan di internal lembaga peradilan tepat sasaran dan efektif dalam penerapannya dan memiliki daya cegah dan tangkal atas berbagai upaya penisataan terhadap lembaga peradilan.
- Mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk lebih aktif dan responsif dalam merespons berbagai persoalan yang muncul di lingkungan lembaga peradilan dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. KY diminta membuat terobosan penting terkait hal tersebut namun tetap dalam koridor konstitusional dan menjaga relasi yang kondusif antarlembaga.
- Mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera mempercepat pembahasan RUU Jabatan Hakim sebagai respons atas berbagai persoalan yang muncul di lembaga peradilan. RUU Jabatan Hakim diharapkan menjadi milestone dalam reformasi di lembaga peradilan khususnya terkait dengan penentuan status dan kedudukan hakim sebagai pejabat negara, manajemen hakim serta pembagian kewenangan (shared responsibility) antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY).
Demikian harap menjadi maklum.
Narahubung:
Indra L Nainggolan: 085319010345