Hukum

Defisit Nilai Budaya, Jimly: Parpol Tidak Jalankan Prinsip Demokrasi

Jakarta – Persoalan sosial, politik, hukum yang saat ini muncul tidak terlepas dari tercerabutnya budaya yang tertuang dalam konstitusi. Produk hukum seringnya hanya duplikasi dari norma pihak luar.

Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Ashiddiqie mengatakan saat ini yang terjadi adanya keberjarakan antara institusi dan tradisi. Ia mencontohkan soal partai politik yang merupakan instrumen demokrasi namun dalam kenyataannya tidak menjalankan prinsip demokrasi.

“Partai politik sebagai instrumen politik nyontek dari luar disandingkan dengan tradisi kita, tidak nyambung. Ini merupakan deskrepansi antara institusi dan tradisi,” ujar Jimly dalam diskusi buku “Konstitusi Kebudayaan dan Kebudayaan Konstitusi” yang digelar Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) di Jakarta, Sabtu (7/10/2017).

Jimly menyebutkan saat ini perlu perpaduan antara globalisme dan lokalisme dalam merumuskan norma baik dalam konstitusi. Menurut dia, tidak bisa globalisme jalan sendiri begitu juga lokalisme jalan sendiri. “Perpaduan globalisme dan lokalisme itulah terbentuk dalam pengertian nasoinalisme masa depan,” tegas Ketua MK 2003-2008.

Dalam kesempatan yang sama anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah mengatakan kekayaan intelektual di Indonesia cukup kaya. Namun Anang menyesalkan dari 16 subsektor yang ditetapkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) hanya tiga subsektor yang nebyunbang PDB di atas 10 persen. “Yakni subsektor kuliner (41,69%), fashion (18,15%) serta kriya (15,70%). Selebihnya di bawah 10 persen kontribusi di PDB nasional,” kata Anang.

Menurut dia, mayoritas subsektor justru berada di angka 1 persen seperti seperti subsektor musik, seni pertunjukan, film, seni rupa, desain interior. “Kekuatan kita ada di seni dan budaya, sayangnya belum digarap secara serius oleh pemerintah,” tegas Anang.

Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi dalam kesempatan tersebut menyebutkan kebudayaan konstitusi tampak tidak tercermin dalam UUD 1945. Akibatnya, kata dia, tidak sedikit kritik muncul atas hasil amandemen konstitusi. “Semestinya, saat amandemen konstitusi dulu, konstitusi kebudayaan menjadi pijakannya. Sehingga konstitusi mencerminkan representations collectives (pikiran kolektif),” sebut Ferdian.

Senada dengan Jimly, Ferdian menyebutkan dalam merespons globalisme harus dipadu antara menjaga tradisi yang baik dan mengambil yang baru yang juga bagus. “Budaya harus menjadi pijakan dalam merespons globalisasi, termasuk dalam persoalan hukum,” tandas dosen FH Universitas Bhayangkara Jakarta ini

Click to comment

Most Popular

To Top