Oleh: Ferdian Andi
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum(Puskapkum)/Dosen HTN di FH Unuversitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Menjelang Pemilu 2019, diskursus pencalonan presiden mulai menghangat di publik. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara serentak sebagai implementasi putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.
Menariknya, hiruk pikuk pencapresan ini memunculkan gagasan mencalonkan kembali Jusuf Kalla untuk menjadi wakil presiden mendampingi Joko Widodo untuk pemilu 2019 mendatang. Soalnya bukan tentang peluang pasangan ini maju dalam pilpres mendatang, itu merupakan domain politik, yang jadi soal posisi Jusuf Kalla jika maju kembali yang berarti ini merupakan kali ketiga menjadi wapres jika dia terpilih dalam kontestasi Pemilu 2019 mendatang.
Di poin itulah menjadi titik soalnya. Karena bila disandingkan dengan keberadaan Pasal 7 UUD 1945 terdapat ketentuan konstitusional yang menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Kendati demikian, norma konstitusional tersebut berusaha untuk ditafsirkan kembali dengan pertanyaan gugatan, seperti apakah ketentuan tersebut berlaku juga bagi seseorang yang menjabat dalam kurun waktu yang tidak terus menerus, seperti yang dialami Jusuf Kalla?
Sebagaimana maklum, JK menjadi wapres pertama kali di periode kepresidenan 2004-2009 mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia kembali menjadi wakil presiden kali kedua di periode 2014-2019, kali ini mendampingi Joko Widodo. Untuk memastikan soal norma tersebut, muncul pula ide untuk meminta pendapat hukum (fatwa) dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memastikan norma tersebut. Tampak di sini, ada ikhtiar kuat untuk menempatkan JK sebagai cawapres untuk ketiga kalinya dalam Pilpres 2019 mendatang.
Terkait hal tersebut, membuka kembali file sejarah munculnya norma tersebut menjadi cukup relevan agar muncul informasi yang otentik dan mencerahkan. Salah satunya membuka kembali dokumen sejarah (historic document) cukup relevan karena menurut A.V Dicey (1965), dokumen sejarah tersebut menjadi bagian dari the law of the constitution. Tidak sekadar itu, pengungkapan dokumen sejarah untuk menyibak suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) para perumus UU yang melatari munculnya norma tersebut.
Amanat Reformasi
Jauh sebelum amandemen konstitusi dilakukan pertama kali pada tahun 1998, enam bulan setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya, MPR menggelar Sidang Istimewa di bawah pimpinan Harmoko.
Dalam sidang tersebut disepakati Ketetapan MPR (Tap MPR) No XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun isi redaksinya sama persis dengan bunyi Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama.
Munculnya Tap MPR merupakan respons atas tafsir terhadap ketentuan di Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Ketentuan tersebut menimbulkan ragam tafsir, ada yang memaknai presiden dapat menjabat berkali-kali, ada pula tafsir yang memaknai presiden hanya dapat dipilih dua kali.
Sayangnya, tafsir pertama yakni presiden dapat dipilih berkali-kali yang diterapkan selama orde baru berlangsung. Hasilnya, Presiden Soeharto menjabat selama tujuh periode, meski untuk periode yang terakhir, Presiden Soeharto hanya menjabat 72 hari saja. (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 – Buku IV Jilid 1, 2010).
Arus utama reformasi saat amandemen konstitusi melatari perubahan ketentuan terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden tersebut. Hal ini tampak terlihat dalam rapat Badan Pekerja MPR yang dilaksanakan pada 6 Oktober 1999, salah satu arus utama yang menguat tampak tercermin dalam pandangan seluruh fraksi MPR yang menghendaki perubahan ketentuan di Pasal 7 UUD 1945.
Meski dalam rapat Panitia Ad Hoc (PAH) III MPR ke-3 pada 9 Oktober 1999, terungkap terdapat dua alternatif rumusan terkait ketentuan yang muncul di perubahan Pasal 7 tersebut. Padahal, di rapat sebelumnya, suara fraksi-fraksi yang mencuat rumusan Pasal 7 mengadopsi sepenuhnya yang terdapat dalam Tap MPR XIII/1998 yakni pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden dua periode.
Dua alternatif rumusan yang muncul, sebagaimana tertuang dalam naskah komprehensif perubahan UUD 1945 buku IV jilidi 1 terungkap, alternatif pertama: ”Presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan.” Alternatif kedua: ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali setelah tenggang waktu tertentu dapat dipilih lagi.”
Ketua rapat Harun Kamil dari Fraksi Partai Golkar mengungkapkan usulan alternatif tersebut muncul dari PDI Perjuangan. Menurut Harun, PDI Perjuangan mengusulkan seseorang dapat dipilih kembali menjadi Presiden kendati telah menjadi presiden dua kali berturut-turut dengan catatan terdapat tenggang waktu tertentu. “Artinya, melalui tenggang waktu tertentu dapat dipilih kembali. Itu sesudah saya menanyakan kepada Tim PDI maksudnya demikian,” demikian penjelasan Harun.
Respons fraksi-fraksi MPR seluruhnya memilih alternatif pertama sebagaiamana tertuang dalam Tap MPR XIII/1998. Sejumlah alasan mengemuka seperti argumentasi dari Juru Bicara Fraksi PKB yang disampaikan Khofifah Indar Parawansa yang mengungkapkan, alternatif pertama dipilih karena membuka peluang adanya sirkulasi elit. “Alternatif satu lebih menjamin sirkulasi elit” sebut Khofifah.
Menariknya, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang masih bersikukuh untuk memilih alternatif kedua. Menurut Juru Bicara Fraksi PDI Perjuangan Aberson Marle Sihaloho alasan mengapa pihaknya bersikukuh mendorong alternatif kedua karena untuk mengantisipasi jika suatu saat terdapat seseorang figur yang telah dua kali menjabat, namun keberadaannya masih dibutuhkan, akan menjadi terhambat lantaran ketentuan sebagaimana di alternatif pertama. “Jadi maksudnya, kalau dia sudah dua kali berturut-turut, itu dia tidak boleh lagi dipilih, tapi kalau ada tenggang waktu, satu periode misalnya, dia bisa lagi,” beber Aberson. Meski kemudian, Fraksi PDI Perjuangan secara bulat menerima alternatif pertama.
Jika melihat dinamika pembahasan Pasal 7 UUD 1945 dapat ditangkap semangat reformasi yang muncul di ruang rapat PAH BP MPR tersebut. Norma pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden sebagai bentuk koreksi atas praktik yang terjadi selama orde baru berkuasa. Secara historis-kronologis, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 juga tertuang melalui Tap MPR XIII/1998 melalui Sidang Istimewa MPR November 1998 atau enam bulan setelah reformasi digaungkan.
Dengan demikian, usulan mengusung Jusuf Kalla untuk kali ketiga dalam jabatan yang sama merupakan gagasan yang keluar dari spirit reformasi. Posisi Jusuf Kalla yang tidak berturut-turut menjabat sebagai Wapres dijadikan alasan untuk dapat mengusung kembali, merupakan argumentasi yang dipaksakan. Toh, perdebatan soal tersebut telah mencuat dalam pembahasan amandemen konstitusi tahun 1999. Hasilnya alternatif pertama, sebagaimana ketentuan yang terdapat di Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen yang disepakati.