Jakarta – Reformasi kehakiman di Indonesia masih belum terkonsolidasi dengan baik paska reformasi. Penyebabnya terdapat salah diagnosa khususnya dalam menjalankan konsep pemisahan kekuasaan.
Pandangan tersebut disampaikan anggota Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari. Menurut dia, reformasi kehakiman saat ini ada salah implementasi konsep pemisahan kekuasaan. Menurut dia, terdapat diagnosa yang salah terkait pemisahan kekuasaan kehakiman dari eksekuti dengan memboyong semua adimintrasi keuangan dan kepegawaian ke MA. “Tapi harusnya kuncinya adalah menciptakan otonomi birokrasi,” ujar Aidul dalam diskusi dan bedah buku “Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman” yang digelar Komisi Yudisial RI dan Puskapkum, di Bekasi, Jawa Barat, Senin (19/11/2018).
Menurut guru besar hukum tata negara di Universitas Muhamamdiyah Surakarta (UMS) ini penggunaan model satu atap terjadi salah kaprah dalam reformasi di lembaga kehakiman. Padahal, sambung mantan Ketua KY ini, persoalannya bukan konsnetrasi hakim pada satu lembaga. “Tetapi bagaimana menjaga otonomi birokrasi dalam mengelola birokrasi, adminitrasi keuangan dan kepgawaian oleh birokrasi, bsia di kementerian hukum dan HAM atau dikelola sendiri dalam hal ini oleh Komisi Yudisial,” urai Aidul
Selain itu, Aidul juga mengusulkan perlu ada pemisahan di dalam konstitusi antara Mahkamah Agung (MA) dan pengadilan yang lain seperti Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) karena berbeda di antara satu dengan lainnya. “Hakim MA dibentuk melalui proses politik sedagkan PN dan PT melalui jenjang karir,” tegas Aidul.
Wacana soal kedudukan hakim sebagai pejabat negara, kata Aidul, tidak sepenuhnya relevan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan di lembaga kehakiman. Menurut dia, relevan id etersebut jika hakim menduduki jabatan struktural. “Tetapi sebagai hakim saja, dia bukan pejabat negara,” tandas Aidul.