Oleh: R Ferdian Andi R
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum)
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan , dan wakilnya, Sandiaga Uno, membentuk Komite Pencegahan Korupsi (KPK) sebagai bagian Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Menariknya, unit kerja yang bertanggung jawab langsung ke gubernur ini dipimpin mantan Wakil Ketua Komisi Pencegahan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
Penunjukan Bambang tentu memberi efek psikologis bagi lembaga baru di lingkungan Pemprov DKI Jakarta ini. Pembentukan Komite Pencegahan Korupsi ini dalam konteks tata kelola pemerintahan memberi pesan komitmen perubahan di DKI Jakarta. Tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel dan transparan diwujudkan dengan capaian wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pembentukan unit kerja ini juga memberi pesan penting bagi pemerintahan daerah lainnya di tengah praktik koruptif yang melibatkan pejabat eksekutif maupun legislatif. Sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada tahun 2017 lalu menjadi indikator nyata, pengelolaan anggaran pemerintah daerah memiliki komplikasi serius.
Perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan penggunaan anggaran masih belum ideal. Kendati demikian, KPK Jakarta bukan tanpa kritik mulai soal sumber pendanaan yang menuai polemik. Besaran gaji dan fasilitas serta fungsi lembaga yang memiliki tugas utama pencegahan korupsi tak sebanding biaya yang dikeluarkan.
Padahal, pencegahan korupsi dapat memanfaatkan berbagai program berbasis teknologi informasi seperti e- Budgeting, e-Procurement serta e-Goverment. Keberadaan KPK Jakarta tentu perlu diuji dalam mencegah korupsi pengelolaan APBD di Jakarta. Terlebih, pendekatan KPK Jakarta ini, berkolaborasi dengan masalah hak asasi manusia (HAM).
Keberadaan Nursyajabani Kantjasungkana yang berlatar belakang sebagai pegiat HAM di tim bentukan Anies ini berusaha untuk menyatukan dua bidang tersebut antara pencegahan korupsi dan penegakan HAM. KPK Jakarta harus memiliki orientasi pencegahan korupsi yang suisitainable dengan meletakkan sistem antikorupsi mulai dari hulu hingga hilir.
Ini dalam proses perencanaan penganggaran anggaran daerah, tak terkecuali meliputi proses pembahasan anggaran di DPRD yang beberapa waktu lalu menimbulkan polemik. Pembentukan sistem antikorupsi ini penting sebagai fondasi membangun Ibu Kota Jakarta. Pencegahan korupsi tak lagi bergantung pada pribadi, tapi sistem.
Pencegahan korupsi juga tak hanya bergantung pada alat yang berbasiskan teknologi informasi, namun meletakkan sistem yang kontinu. Sebab faktanya, sistem berbasis teknologi informasi tersebut tak mampu menjerat pejabat daerah dalam kasus korupsi.
Memetakan
Langkah awal yang harus dilakukan KPK Jakarta antara lain memetakan potensi korupsi yang di lingkungan pemerintahan provinsi DKI Jakarta. Karena korupsi tidak selalu dipahami hanya penggunaan anggaran daerah dengan cara tidak legal. Lebih dari itu, korupsi dapat terjadi melalui penggunaan pengaruh, pemberian fasilitas khusus, serta pengelolaan aset daerah yang yang tidak baik.
Pemetaan korupsi di daerah dapat memberi peta jalan bagi unit kerja ini untuk merumuskan pencegahan korupsi lebih lanjut. Setelah pemetaan potensi korupsi yang mumcul di lingkungan pemerintahan Provinsi Jakarta, KPK Jakarta dapat merumuskan resep untuk mencegah korupsi di lingkungan pemerintahan provinsi DKI Jakarta dari level kelurahan hingga provinsi.
Di tahap inilah menjadi inti kerja KPK Jakarta. Pembentukan sistem yang tetap harus diformulasikan dalam bentuk perundang-undangan baik melalui peraturan daerah maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Perumusan legal substance yang rigid untuk memastikan pencegahan korupsi dilakukan dengan sistem.
Karena hakikatnya, pengelolaan pemerintahan yang menganut sistem demokrasi konstitusional dilakukan dengan sistem, bukan kehendak orang (government by laws, not by men) (Miriam Budiardjo, 1998) Perumusan sistem antikorupsi juga harus menerapkan prinsip pembentukan perundang-undangan yang baik.
Mekanisme uji publik dalam proses pembentukan perda maupun Perkada untuk memastikan sistem yang dibentuk dapat berjalan efektif. Selain itu, kajian atas dampak penerapan peraturan juga harus di atas meja para perumus peraturan daerah agar sistem pencegahan korupsi dapat terukur efektivitas penerapan di lapangan.
Tahap akhir proses pembentukan sistem tak lain dengan memonitor dan evaluasi terhadap sistem pencegahan korupsi yang dibentuk. Pengawasan dan evaluasi harus senantiasa dilakukan di lingkungan birokrasi pemerintah provinsi DKI Jakarta. Dengan cara ini, dapat diketahui titik lubang penerapan sistem pencegahan korupsi.
Bila konsepsi pencegahan korupsi berjalan baik, maka secara linier hakikat birokrasi sebagai pelayan masyarakat dengan sendirinya akan semakin baik. Lebih dari itu, budaya birokrasi yang feodal dapat dengan sendirinya dikikis. Karena secara determinan, bila sistem pencegahan korupsi dapat terbangun dengan baik, yang muncul pemberlakuan meryt system dalam rekrutmen jabatan publik.
Ini termasuk proses kenaikan jabatan di lingkungan birokrasi. Imbasnya, tak ada lagi pengangkatan jabatan melalui like and dislike. Efek lanjutannya lagi, birokrasi akan imun dari hiruk pikuk politik baik melalui pilkada, pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Preferensi pilihan politk kepala daerah sama sekali tidak memberi dampak atas preferensi aparatur pemerintahan.
Birokrat memiliki kemandirian dalam pilihan politiknya. Bila situasi birokrasi pada level tersebut tadi, maka sistem pencegahan korupsi Jakarta layak menjadi role model daerah lainnya. Membangun sistem antikorupsi ini menjadi langkah paripurna atas ikhtiar sebelumnya yang dilakukan dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi dengan cara digitalisasi pengelolaan pemerintahan.
Hanya, kritik tajam publik terhadap gaji personel KPK Jakarta yang cukup mencolok mestinya Gubernur dan Wakil Gubernur dapat meninjau ulang. Upah yang fantastastis tersebut kurang patut di tengah situasi ekonomi khususnya yang berat di mana banyak warga hidup miskin.
(dimuat di harian Koran Jakarta, Edisi Weekend 6-7 Januari 2018)