Oleh: Indra L Nainggolan
(Direktur Riset Pusat Studi Kebijakan Publik dan Hukum/Puskapkum)
Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan terlibat perselisihan dengan wakil bupati Abdul Rahman dalam sebuah acara pelantikan pejabat pemerintah di lingkungan kabupaten tolitoli. Abdul Rahman marah, diduga karena merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan meminta proses pelantikan dibatalkan. Hingga akhirnya merobek surat keputusan tentang pengangkatan pejabat.
Sepekan kemudian kejadian yang sama terjadi pada bupati morowali utara Aptripel Tumimomor dengan wakilnya Moh.Asrar Abdul Samad. Wakil bupati diduga tidak setuju terhadap pelantikan pejabat eselon III dilingkungan kabupaten morowali utara karena tidak sesuai dengan prosedur yang benar dan tidak melibatkan dirinya. Pada saat yang sama pun Asrar merampas naskah surat keputusan dan merobek-robeknya.
Perselisihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hal yang baru. Sebelumnya pada tahun 2011, Dicky Chandra yang pada saat itu menjabat sebagai wakil bupati kabupaten garut memilih mengundurkan diri dari jabatannya dikarenakan sudah tidak sejalan dengan bupati. Melihat fakta tersebut maka keberadaan kepala daerah dan wakil kepala daerah berpotensi untuk konflik pasca pemilukada berlangsung. Konflik diantara mereka bukan tidak mungkin berpengaruh pada kebijakan yang akan diambil, yang kemungkinan dapat merugikan masyarakat.
Perselisihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilihat dari dua sisi hukum yakni UU No.23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah serta UU No.10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Lahirnya UU No.23 Tahun 2014 memang untuk menggantikan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menarik untuk dicermati bahwa pasca tidak berlakunya rezim UU No.32 Tahun 2004 telah melahirkan tiga macam undang-undang yang sebelumnya merupakan bagiannya yaitu UU tentang pemerintahan daerah itu sendiri, UU tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota (UU Pilkada), serta UU tentang desa.
Terpisahnya UU pemerintahan daerah dengan UU Pilkada tidak boleh dipahami bahwa potensi konfik yang rentan terjadi pada kepala daerah dan wakilnya merupakan pengaturan dua hal yang berbeda. Justru memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain. Oleh sebab itu, UU pemerintahan daerah tidak cukup untuk mengatasi konflik diantara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pencegahan perselisihan diantara mereka harus diantisipasi juga sebelum mereka menjabat, hingga saat menjabat nantinya.
Menjernihkan Konflik Kepala Daerah dengan Wakilnya
Dari sisi UU pemerintahan daerah telah mengatur mengenai tugas dan wewenang seorang kepala daerah. Menariknya untuk wakil kepala daerah hanya diatur tugasnya saja, untuk membantu kepala daerah dalam berbagai hal atau berhalangan sementara. Sedangkan untuk wewenang wakil kepala daerah tidak ada pengaturannya.
Wewenang adalah kekuasaan untuk membuat suatu kebijakan publik dalam bentuk suatu keputusan, yang dapat bersifat pengaturan (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking). Idealnya tugas harus diikuti dengan pemberian wewenang, sebab tanpa adanya wewenang yang sah maka tidak akan mungkin melahirkan keputusan yang sah untuk menunjang tugas yang melekat padanya. Disinilah problemnya, wakil kepala daerah hanya memiliki wewenang manakala menggantikan kepala daerah yang tidak dapat hadir untuk melaksanakan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan daerah.
Dinamika pelantikan pejabat pemerintah daerah yang terjadi di kabupaten tolitoli serta morowali utara menjadi salah satu contoh bahwa wakil kurang memiliki peran dibandingkan dengan kepala daerah. Memang berdasarkan PP No.9 Tahun 2003, wewenang pengangkatan terhadap pejabat pemerintah daerah berada dalam kuasa kepala daerah. Wakil kepala daerah tidak disebutkan, namun dapat bertindak apabila kepala daerah mendelegasikan wewenangnya.
Tidak dapat dipungkiri, sebab dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 memang dinyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Frasa “sebagai kepala pemerintah daerah” tersebut melekat pada kepala daerah, kalaupun aturan dibawahnya mengatur wakil maka hanya sebatas pengganti jika kepala daerah berhalangan dalam pelaksanaan pemerintah daerah.
Mungkin istilah kepala daerah yang dibuat oleh pembentuk undang-undang menunjuk pada sepasang pimpinan daaerah yaitu kepala daerah beserta wakilnya. Karena pengisian jabatan kepala daerah yang diatur undang-udang dipilih secara sepasang. Kalaupun demikian yang dimaksud, maka perlu dilakukan pengaturan lebih terperinci terkait pembagian wewenang dari kepala daerah kepada wakilnya pada UU pemerintahan daerah. Pembagian yang dimaksud bukan terpisah. Dalam mengambil kebijakan, konsepnya bisa saja dari masing-masing namun tetap menjadi keputusan bersama.
Misalnya saja setiap kebijakan yang diambil harus mendapatkan pertimbangan maupun diketahui oleh wakilnya. Atau bisa saja urusan daerah untuk bidang tertentu konsepnya ditugaskan ke wakil dengan keputusannya tetap dengan persetujuan bersama kepala daerah. Artinya setiap kebijakan yang lahir harus dalam kerangka hasil keputusan bersama kepala daerah dan wakil kepala daerah. Inilah konsekuensi dari pemilihan kepala daerah yang dipilih secara sepasang, harus diikuti dengan kebijakan sepasang pula.
Sedangkan pada sisi UU No 10 Tahun 2016 diatur mengenai proses pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Proses pilkada melibatkan KPUD elemen suprastruktur negara sebagai penyelenggara, sedangkan partai politik merupakan elemen infrastruktur negara yang menyediakan calon kepala daerah, serta perseorangan yang mendapat dukungan dari masyarakat.
Keduanya memiliki pola hubungan yang sangat erat satu sama lain, di satu sisi KPUD merupakan pintu masuk oleh kader partai politik untuk mendaftarkan diri sebagai pejabat publik. Di sisi yang lain KPUD membutuhkan partai politik yang menyediakan kadernya. Partai politiklah yang memiliki peran penting membentuk calon kepala daerah.
Salah satu fungsi dari partai politik adalah sebagai rekruitmen politik. Partai politik harus melahirkan sepasang calon kepala daerah yang siap, potensial dan komitmen penuh melayani masyarakat. Apabila partai politik tidak memenuhi ketentuan batas minimal untuk mengajukan sepasang calonnya sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, maka dituntut melakukan kesepakatan politik dengan partai lain.
Kesepakatan politik inilah yang rawan terjadi konflik kepala daerah dan wakilnya pasca terpilih menjadi pejabat publik. Inilah persoalan yang penting untuk dibenahi oleh semua pihak. Sebab, kecenderungan pecah kongsi yang terjadi, diduga karena sudah tidak sesuai dengan kesepakatan politik yang semula ada. Pilkada serentak yang akan berlangsung pada juni 2018 menjadi momen penting untuk mendudukkan kepentingan masyarakat diatas kepentingan politik. Walaupun rekruitmen secara otonom berada pada masing-masing parpol, namun penting komitmen untuk mensejahterahkan rakyat menjadi utama.
Pembenahan pada tataran suprastruktur pada kedudukan wewenang kepala daerah beserta wakilnya, harus diikuti pula pembenahan pada infrastruktur politiknya. Karena kondisi tataran infrastruktur politik, sangat mempengaruhi kinerja suprastruktur nantinya. Untuk itu demokrasi menuntut komitmen dari semua pihak untuk mengurangi konflik kepentingan tertentu yang dapat mereduksi kepentingan masyarakat. Karena pada akhirnya kepentingan masyarakat menjadi dasar dari segalanya.