Analisa

Kepala Daerah Baru Jangan Korup

Oleh: R Ferdian Andi R (Direktur Eksekutif Puskapkum)


Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan penghitungan manual 171 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 Juni 2018. Pilkada serentak terbanyak sepanjang sejarah pilihan langsung berjalan lancar. Maksudnya, tidak ada persoalan berarti yang muncul.

Meski menghadirkan kejutan seperti terpilihnya dua kandidat berstatus tersangka, yakni Syahri Mulyo di Pilkada Tulungagung dan Ahmad Mus di Pilkada Maluku. Keduanya adalah tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK, sebelum pemilihan berlangsung.

Selain itu, sepekan setelah pelaksanaan pilkada serentak, KPK juga menangkap Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, serta Bupati Bener Meriah, Ahmadi. Kedua kepala daerah di Bumi Serambi Mekah itu merupakan produk pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017.

Tiga peristiwa penting mulai pelaksanaan pilkada serentak, terpilihnya kepala daerah berstatus tersangka korupsi, serta dua kepala daerah hasil pilkada serentak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK memberi pesan penting. Ini terutama sistem yang tidak kondusif dalam menciptakan pilkada sebagai ajang kontestasi orang-orang baik dan terpilih.

Di sisi lain, persoalan yang tak kalah serius tentang penyelenggara pemerintahan daerah yang justru kerap tersandung kasus korupsi dengan berbagai modus operandi. Di antaranya, suap proyek daerah, jual beli jabatan dan izin konsesi lingkungan. Ini termasuk kongkalingkong pembahasan anggaran antara legislatif dan eksekutif.

Sebanyak 171 kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2018 harus dipastikan selamat dari jeratan kasus korupsi. Harus ada pengawasan dari hulu hingga hilir agar hakikat penyelenggaraan demokrasi daerah yang bertujuan menyejahterakan rakyat dapat tercapai. Sukses kepala daerah dalam memimpin selama lima tahun, semestinya berjalan linier dengan tidak adanya praktik korupsi agar program kerja yang berorientasi kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dengan baik.

Namun, sebaliknya, kegagalan kepala daerah memimpin salah satu penyebabnya lantaran tersandera berbagai kepentingan pragmatis berjangka pendek. Akibatnya, program menyejahterakan rakyat sulit terwujud. Kepastian kepala daerah agar dapat bekerja sesuai dengan kepentingan rakyat dimulai pada tahapan pencalonan hingga pilkada langsung. Di fase hulu inilah kunci hitam perjalanan kepemimpinan.

Maka, esensi pengaturan pelaksanaan pilkada terkait sumbangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 74 ayat (5) UU No 10 tahun 2016 tentang batasan sumbangan sumbangan dari perseorangan maksimal 75 juta rupiah dan badan hukum swasta 750 juta rupiah, memiliki relevansinya. Aturan ini harus dibaca sebagai upaya memagari kandidat dari sandera pemilik modal.

Sayangnya, pelaporan soal sumbangan dan pengeluaran dan kampanye yang merujuk Peratuuan KPU No 5 Tahun 2017 di mana pasangan calon wajib melaporkan dana kampanye dan sumbangan kerap, kerap hanya dilihat sebagai kewajiban adminitratif.

Padahal, jika berbasis pada Peraturan KPU No 2 Tahun 2018, penyelenggara pemilu telah mengondisikan sedemikian rupa aturan pelaporan awal dana kampanye. Ada juga laporan penerima sumbangan dan kampanye. Dalam poin ini, integritas pasangan calon dalam menyampaikan laporan sumbangan dan belanja kampanye menjadi kunci.

Kemerdekaan kepala daerah dalam memimpin dari kepentingan apa pun menjadi penting untuk memastikan program kerja hanya demi kesejahteraan rakyat. Jika titik berangkat calon kepala daerah tidak dikotori kepentingan pemilik modal dan upaya balik modal, separuh langkah untuk menjadikan daerah lebih maju dan sejahtera telah dimulai dengan baik.

Taat Hukum

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah berasal dari praktik kongkalinglong antara oknum lembaga legislatif dan eksekutif, termasuk di dalamnya kepala daerah. Maka, legislatif dan eksekutif saat membahas APBD harus taat hukum. Selain taat aturan, semua harus menjaga integritas. Komunikasi harmonis dua eksekutif dan legislatif dan unsur musyawarah pimpinan daerah juga bisa jadi alat penawar upaya koruptif dalam pembahasan anggaran daerah.

Langkah tersebut sejalan dengan kepemimpinan kepala daerah yang harus inovatif dalam pembangunan. Kepemimpinan inovatif ditandai partisipatoris dengan mengajak sebanyak-banyaknya warga terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program kerja.

Selain itu, untuk membentuk good governance merujuk UN-ESCAP (United Nation Ecocnomic Social Comission for Asia-Pasific), pemerintah daerah harus berorientasi konsensus dalam merumuskan setiap kebijakan publik. Mereka harus bertanggung jawab, transparan, responsif, efektif, efisien, adil, dan inklusif.

Di atas semua itu, pemimpin daerah harus menciptakan sistem antikorupsi. Ini dimulai dari pendopo gubernur/bupati/wali kota untuk membangun kultur antikorupsi. Praktik katabelece, setor upeti, serta nepotisme pemerintah daerah harus ditinggalkan. Sebaliknya, mereka harus mendorong meryt system bagi birokrasi.

Kultur antikorupsi dipadukan dengan peneguhan aturan main akan menghasilkan lingkungan pemerintahan daerah bersih. Penyelenggaraan pemerintahan dapat menghasilkan good governance. Ujung dari ikhtiar ini akan menyelematkan para kepala daerah dari jeratan korupsi.

Secara berkesinambungan, program kerja juga akan berjalan sesuai janji kampanye menjelang pilkada. Kepala daerah demikian akan dikenang sebagai pemimpin yang dicintai raOkyat. Bukan sebaliknya, hiruk pikuk pilkada justru menghantarkan para kepala daerah dalam kehinaan korupsi.
(tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, edisi 17 Juli 2018)

Click to comment

Most Popular

To Top