Analisa

Sengkarut Pencalegan Eks Koruptor

Oleh: R Ferdian Andi R
Pengajar di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)

Polemik soal calon anggota legislatif (caleg) berasal dari bekas narapidana korupsi kembali mencuat. Pemicunya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan sejumlah caleg yang memiliki latar belakang narapidana kasus korupsi. Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdalih telah membatasi caleg yang berlatar belakang napi korupsi, napi bandar narkoba termasuk napi kejahatan seksual terhadap anak.

Situasi yang terjadi saat ini sebenarnya telah lama terprediksi, persisnya sejak KPU mewacanakan Peraturan KPU (PKPU) soal persyaratan caleg yakni caleg tidak pernah menjadi napi korupsi, napi bandar narkoba serta napi kejahatan seksual terhadap anak. Kala itu, ide KPU itu menimbulkan kontroversi. Ada yang mendukungnya, ada pula yang mengkritisinya.

Bila sebelumnya di PKPU, yang belum diundangkan tertanggal 30 Juni 2018, ketentuan soal larangan maju menjadi caleg bagi napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, terdapat di Pasal 7 huruf h terkait syarat caleg, namun di PKPU No 20 Tahun 2018, draft ketentuan tersebut berubah total.

Dalam PKPU No 20 Tahun 2018 tertanggal 2 Juli 2018 yang diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 3 Juli 2018 itu, tak ada lagi ketentuan mengenai bebas napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak sebagai persyaratan bagi caleg.

Namun, mengenai ketentuan mengenai napi korupsi, narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak terdapat di Pasal 4 ayat (3) PKPU No 20 Tahun 2018 masuk dalam bagian “Pengajuan Bakal Caleg” yang lebih mengatur partai politik sebagai pihak yang mengajukan daftar caleg ke KPU.

Dalam ketentuan di Pasal 4 ayat (3) PKPU NO 20 Tahun 2018 tersebut disebutkan partai politik dalam menyeleksi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) dilakukan secara demokratis dan terbuka agar tidak menyertakan bekas napi korupsi, napi bandar narkoba serta napi kejahatan seksual terhadap anak.

Ketentuan tersebut diikuti dengan ketentuan berikutnya yakni di Pasal 6 huruf e PKPU No 20/2018. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa ketentuan yang tertuang di Pasal 4 ayat (3) PKPU No 20/2018 itu disebut sebagai pakta integritas pencalonan anggota legislatif bagi partai politik.

Bila membandingkan ketentuan PKPU (versi tanggal 30 Juni 2018) dengan PKPU yang diudangkan Kementerian Hukum dan HAM (tertanggal 3 Juli 2018), jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Bila PKPU tertandatagan Ketua KPU pada 30 Juni 2018 ketentuan mengenai napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual masuk dalam ketentuan syarat caleg.

Sedangkan di PKPU yang diundangkan Kementerian Hukum dan HAM (tertanggal 3 Juli 2018), ketentuan mengenai napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, masuk dalam ketentuan yang ditujukan kepada partai politik dalam pengajuan bacaleg. Ketentuan ini menjadi bagian imbauan dari pakta integritas caleg yang diajukan oleh partai politik. Obyek dari ketentuan ini tak lain adalah partai politik, bukan caleg.

Hingga saat ini, Bawaslu telah meloloskan 12 calon anggota legislatif (caleg) yang berlatar belakang napi korupsi. Lembaga pengawas pemilu ini berpijak pada UU No 7 Tahun 2017 serta PKPU No 20 Tahun 2018. Di sisi lain, KPU juga mengedarkan surat edaran ke KPU se-Indonesia agar tidak menjalankan putusan Bawaslu yang meloloskan caleg bekas napi korupsi. Alasannya, hingga saat ini PKPU No 20/2018 masih berlaku dan belum dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Legislasi Bermasalah
Sengkarut yang terjadi saat ini bermuara dari polemik yang sejak awal dimunculkan KPU yang memasukkan norma pembatasan bagi caleg yang berlatarbelakang napi korupsi, napi bandar narkoba dan kejahatan seksual bagi anak. Kendati mengalami perubahan dari draft PKPU tertanggal 30 Juni 2018 ke PKPU yang diundangkan pada 3 Juli 2018. Esensinya, PKPU tersebut, dalam perspektif KPU, tetap membatasi caleg yang berlatarbelakang napi korupsi, napi bandar narkoba dan napi kejahatan seksual terhadap anak.

Sejak awal, ide ini menuai polemik. Meski tak sedikit juga yang mendukung ide tersebut, alasannya, KPU dianggap mendorong lahirnya parlemen yang bersih dan berintegritas, setidaknya melalui proses seleksi yang ketat ini. Karena secara faktual, anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah, tidak sedikit yang terlibat dalam kasus korupsi, naifnya tindak pidana korupsi dilakukan secara beramai-ramai.

Namun, di sisi lain, tindakan KPU yang memasukkan norma baru dalam PKPU 20/2018 ini, khususnya terkait dengan larangan caleg yang berlatarbelakang napi korupsi, bandar narkoba dan napi kejahatan seksual terhadap anak, secara normatif bermasalah. Karena, salah satu syarat pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di antaranya harus sesuai dengan jenis, hierarki dan materi muatan (Pasal 5 huruf c UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

PKPU No 20 Tahun 2018 ini, khususnya terkait dengan Pasal 4 ayat (3), sebagaimana pemahaman KPU, bermasalah dari sisi hierarki peraturan perundang-undangan. Norma tersebut tidak memiliki basis legal nya. Ketentuan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sama sekali tidak mengatur soal pencabutan hak politik bagi bekas napi korupsi, bandar narkoba dan napi kejahatan seksual terhadap anak.

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU VII/2009 memastikan pembatasan hak politik seseorang dapat dilakukan namun hanya berlaku maksimal lima tahun setelah terpidana selesai menjalani hukuman. Selain itu, mantan napi tersebut hanya bisa menduduki jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat (political elected).

Di poin inilah letak permasalahannya. Ketiadaan basis legal dalam perumusan norma dalam PKPU No 20/2018 menjadi persoalan serius. Imbasnya, norma tersebut berpeluang merampas hak konstitusional warga yang berlatabelakang napi korupsi, bandar narkoba dan napi kejahatan seksual terhadap anak. Setidaknya, hal ini pula yang menjadi pijakan Bawaslu untuk meloloskan caleg yang berlatarbelakang napi korupsi.

Di sisi lain, keberadaan PKPU tersebut dimaksudkan KPU sebagai upaya menyaring calon anggota parlemen agar diisi oleh figur yang bersih jejak rekamnya. Secara etik, spirit KPU dapat ditangkap dengan baik oleh publik. Hanya saja, spirit yang baik tidaklah cukup untuk membentuk sistem yang baik. Alih-alih PKPU ini dapat menjadi pintu masuk untuk menghadirkan parlemen yang baik, namun justru sengkarut pencalegan yang mengemuka di awal.

Perbaikan Sistem
Spirit KPU yang membentuk norma untuk menangkal bekas koruptor, banda narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan iktikad baik yang patut diapresiasi. Meski, secara substantif, semangat itu tidak mudah diterapkan lantaran ketiadaan dasar hukum atas keberadaan norma tersebut .

Sebenarnya, banyak langkah yang bisa dilakukan KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk menghadirkan parlemen yang bebas dari korupsi, dengan tanpa melakukan blunder seperti yang terjadi di PKPU No 20 Tahun 2018 ini. Setidaknya, KPU dapat menyiapkan perangkat dari hulu dalam proses rekrutmen caleg hingga saat pemilihan secara paripurna tanpa menabrak aturan hukum lainnya.

Dalam konteks perbaikan di lembaga parlemen, jika diidentifikasi persoalan yang paling menonjol di parlemen kita yakni soal praktik korupsi. Ragam modus yang dilakukan dalam melakukan praktik tersebut seperti modus kongkalingkong anggaran dengan pihak eksekutif, pemerasan anggaran terhadap eksekutif hingga praktik legislasi rente di parlemen.

Jika ditarik benang merah dari ragam praktik jahat tersebut, tampak anggota parlemen berusaha untuk mengumpulkan pundi demi kepentingan modal untuk kontestasi politik berikutnya. Dengan kata lain, korupsi yang dilakukan anggota parlemen sebagai imbas dari tuntutan biaya politik yang tidak murah dalam perhelatan pemilu.

Aturan mengenai kampanye seperti sumbangan kampanye, belanja kampanye, pelaporan biaya kampanye harus dimodifikasi sedemikian rupa agar mengondisikan transparansi biaya kampanye. Selain itu, penegakan aturan dalam praktik politik uang (money politic) semestinya harus dilakukan secara tegak lurus. Aturan yang tegas hanya akan sia-sia jika penegakan aturan tidak dilakukan dengan baik.

Perbaikan sistem dalam urusan biaya politik menjadi salah satu ikhtiar kecil untuk memastikan para caleg tidak terjerat sandera politik berbiaya mahal. Karena dalam kenyataannya, kasus korupsi yang terjadi di parlemen justru menghadirkan aktor baru yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terlibat dalam kasus korupsi.

Jika demikian situasinya, maka perbaikan sistem jauh lebih progresif ketimbang berusaha tampak gagah dengan membatasi caleg bekas napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, namun menabrak aturan main serta berpotensi merampas hak konstitusional warga negara.

Click to comment

Most Popular

To Top